REPUBLIKA.CO.ID, PONOROGO, JATIM -- Populasi elang jawa di sekitar Gunung Ijen yang terletak di kawasan selatan bagian timur Provinsi Jawa Timur ditengarai mengalami penurunan cukup drastis selama beberapa tahun terakhir. Hal itu diduga dampak perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan.
"Kami menduga terjadi migrasi besar-besaran dari kawasan ini (Gunung Ijen) ke tempat atau kawasan lain yang lebih terlindung dan masih alami," kata Humas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur Gatut Panggah Prasetyo yang dikonfirmasi seusai pelepasliaran elang jawa di Cagar Alam Picis, Kabupaten Ponorogo, Rabu (20/11).
Menurut dia, hutan produksi yang dulunya menjadi jalur lintas elang jawa bertahap hilang dan berganti menjadi kawasan perkebunan.
Selain perubahan fungsi kawasan di sekitar Gunung Ijen yang dulunya menjadi habitat elang Jawa, kata dia, tingginya aksesibilitas manusia seiring pembukaan area-area perkebunan baru serta arus kunjungan wisatawan yang meningkat.
Dia menegaskan bahwa kondisi sebaliknya terjadi di kawasan Gunung Sigogor dan Gunung Picis yang telah ditetapkan sebagai area cagar alam di kaki Gunung Wilis.
Populasi elang jawa daerah itu, kata Gatut, diidentifikasi meningkat. Dari asalnya terdeteksi tiga ekor elang jawa pada 2014, kini telah berkembang menjadi antara 7-11 ekor.
"Kondisi ini didukung oleh semua faktor, mulai faktor alami di Ponorogo yang masih bagus, kawasan buffer zone Perhutani yang masih terjaga, serta masyarakat yang peduli konservasi, sadar dan peduli terhadap upaya pelestarian satwa dan lingkungannya," kata Gatut.
Menurut dia, perkembangan positif itu disambut gembira oleh BKSDA maupun semua pihak yang peduli konservasi elang jawa, seperti dari Yayasan Konservasi Elang Indonesia (YKEI) dan pegiat lingkungan lain.
Mereka berharap elang jawa yang saat ini tercatat sekitar 300-an ekor di seluruh pulau Jawa (mayoritas terdeteksi di Garut, Jawa Barat dan Jawa Timur), bisa terus berkembang sehingga satwa khas yang dilindungi dan menjadi lambang negara Indonesia itu kian lestari di alam liar.
Di BKSDA Jatim sendiri saat ini masih ada 4-5 ekor elang jawa yang menjalani proses rehabilitasi. Gatut mengatakan, elang-elang jawa hasil penyerahan masyarakat itu tidak serta-merta dilepasliarkan demi mempertimbangkan kesiapan satwa itu berada di alam liar yang menjadi habitat aslinya.
Mulai dari dilatih dengan makanan mangsa hidup selama kurun 2-3 bulan (tikus, anak ayam dan sebagainya), elang jawa yang dipilih dan dipersiapkan untuk dilepas liar kemudian menjalani proses habituasi atau pengenalan lingkungan alami baru yang akan menjadi habitatnya selama kurun waktu yang sama.
Tujuan habituasi ini, katanya, untuk mengadaptasikan elang jawa dengan iklim yang ada di calon habitat barunya. Baru setelah habituasi dinyatakan cukup, elang dilepasliarkan.
Namun, katanya, sebelum itu elang jawa akan diperiksa terus kesehatannya sebelum benar-benar dilepasliarkan. Hal itu dimaksudkan supaya saat benar-benar sudah di alam liar tidak memicu penyakit bagi populsi elang jawa lain di alam liar.