REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren industri co-living memiliki prospek bisnis yang cukup menjanjikan khususnya residensial dengan harga di bawah Rp 800 juta. Keuntungan lainnya memiliki pendapatan berulang atau tetap seperti passive income setiap bulannya.
Analis MNC Sekuritas Edwin Sebayang mengatakan tren tersebut terlihat dari backlog atau defisit ketersediaan tempat tinggal mencapai 300-400 ribu unit per tahun. Apalagi kebutuhan masyarakat akan hunian seperti hotel maupun properti berkonsep co-living masih sangat besar.
“Perusahaan properti yang memiliki prospek bagus antara lain properti sektor industri, berkaitan dengan emiten properti yang mendapatkan pendapatan berulang seperti hotel, mal dan konsep co-living karena lebih stabil dibanding yang hanya khusus jual putus,” ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (21/11).
Apabila dilihat secara rata-rata year to date, kinerja emiten properti terbilang masih cukup bagus. Namun, hal itu juga harus didasari oleh kinerja fundamental perusahaan tersebut.
“Apabila ada perusahaan properti berencana melakukan Intial Public Offering (IPO), saat ini dinilai sebagai waktu yang tepat,” ucapnya.
Edwin menyebut tren suku bunga pinjaman terus menurun, loan to value (LTV) diperlonggar dan asing makin mudah memiliki aset properti di Indonesia. “Sektor properti ke depannya diperkirakan akan bergairah. Kalau mau IPO saat ini, sangat tepat karena kondisi ekonomi sedang stabil,” ucapnya.
Edwin menambahkan salah satu aspek keberhasilan dari perusahaan properti yang ingin IPO ditentukan cara emiten tersebut mendapatkan pendapatan atau revenue saat kondisi properti sekarang sedang lesu. Para investor melihat valuasi, besaran size IPO, portofolio proyek properti yang berada pusat keramaian hingga harga yang dimainkan oleh pelaku industri dalam memasarkan produknya.