Kamis 21 Nov 2019 18:14 WIB

Deretan Kasus Penodaan Agama di Indonesia

Sukmawati bukan satu-satunya yang dilaporkan atas kasus dugaan penodaan agama.

Sukmawati Soekarnoputri, belakangan dilaporkan ke kepolisian atas kasus dugaan penodaan agama.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sukmawati Soekarnoputri, belakangan dilaporkan ke kepolisian atas kasus dugaan penodaan agama.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rizkyan Adiyudha

Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri dilaporkan atas dugaan penistaan agama. Putri Presiden Pertama Sukarno RI itu diadukan ke pihak berwajib karena membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Presiden Sukarno pada Jumat (15/11).

Baca Juga

Sukmawati dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh seorang advokat Ratih Puspa Nusanti.

Laporan terhadap sukmawati tercatat bernomor LP/7393/XI/2019/PMJ/Dit.Reskrimum.

Kepolisian menyebut Sukmawati diduga telah melanggar Pasal 156a KUHP. Namun, hingga kini aparat belum memanggil putri presiden pertama RI tersebut.

Kasus penodaan terhadap agama bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Sejumlah kasus serupa pernah terjadi. Sebut saja kasus mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2017 lalu.

Selanjutnya, kasus serupa juga dituduhkan terhadap Eggi Sudjana pada 2017 lalu. Pelapor Eggi, Sures Kumar, menilai penodaan agama dilakukan karena dalam sebuah bukti video Eggi menyebutkan agama tertentu harus dibubarkan.

Pada 2017, majelis hakim Pengadilan Negeri Garut juga pernah memvonis warga Desa Tegalgede, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Wawan Setiawan. Dia mengaku sebagai jenderal Negara Islam Indonesia (NII).

Pengadilan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara. Wawan terbukti melakukan perbuatan makar dan penodaan terhadap agama.

Pada 2018, komika Ge Pamungkas dan Joshua Suherman juga pernah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan penodaan agama. Nomor laporan Ge Pamungkas adalah LP/41/I/2018/Nareskrim, sementara Joshua  LP/30/I/2018/Bareskrim.

Pada 2018, penghinaan terhadap agama juga disangkakan kepada dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Ade Armando. Dia dilaporkan terkait cicitan di media sosial Twitter-nya yang mengatakan,"Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina, hip hop, blues".

Pada tahun yang sama, Pengadilan Negeri Ungaran menjatuhkan vonis tiga tahun penjara subsider tiga bulan penjara kepada terdakwa Julius Herry Sarwono. Dia dinyatakan terbukti melontarkan ekspresi kebencian dengan menyoal keyakinan umat Islam yang mengharamkan daging babi.

Terdakwa perkara penodaan agama di media sosial, Martinus Gulo (21), dituntut lima tahun penjara di Medan. Warga desa Fanedanu, Somambawa, Kabupaten Nias Selatan, ini dinilai bersalah melakukan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW melalui Facebook.

Masih pada tahun yang sama, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara kepada Meiliana (44). Dia terbukti terbukti bersalah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 156A KUHP.

Meiliana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Pada 2019, Ketua DPD Golkar Dedi Mulyadi juga sempat dilaporkan ke Mapolda Jawa Barat. Mantan bupati Purwakarta itu dilaporkan oleh perwakilan ulama, Harto.

Dedi dilaporkan atas kasus penodaan agama setelah melakukan deklarasi dukungan terhadap calon ketua umum Golkar, Airlangga Hartanto. Dalam deklarasi yang menggunakan kitab suci Alquran sebagai medium janji, Dedi meminta para DPD Golkar di Jawa Barat untuk siap dilaknat bila mana mengkhianati deklarasi dukungan pada Airlangga.

Pada tahun yang sama, Polres Bogor menetapkan SM (52) sebagai terduga penista agama setelah membawa masuk anjing ke dalam masjid. Penyidik menaikkan status SM menjadi tersangka dengan Pasal 156.

Opini psikolog

Psikolog Kasandra Putranto menilai, sejumlah kasus penodaan agama yang terjadi bisa disebabkan faktor kesengajaan atau sebaliknya. Meski demikian, dia meminta masyarakat untuk menjadi bangsa besar yang penuh maaf.

"Sebaiknya kita juga tidak menjadi bangsa yang dengan mudahnya mencerca, mencela, dan menghukum orang lain," kata Kasandra Putranto di Jakarta, Kamis (21/11)

Menurut Kasandra, dalam beberapa kasus sering kali pasal penodaan agama hanya digunakan untuk sosok yang tidak disukai. Dia berpendapat, ada perbedaan persepsi yang menjadi masalah seseorang menyampaikan sesuatu dengan maksud yang lain dan lalu kemudian diterjemahkan dengan maksud yang lain lagi serta persepsi tertentu.

"Menurut saya pasal penistaan agama perlu diperbaiki dan diperjelas agar tidak menjadi alat bagi sekelompok orang orang kepada sesama," katanya.

Dia mengimbau semua pihak untuk tidak semakin reaktif, sensitif, dan punitif terhadap sesama. Seharusnya dia menganjurkan masyarakat untuk lebih bersabar, teduh dan penuh welas asih.

"Kriteria penodaan agama menjadi sangat sulit untuk dibuktikan karena mengandung tatanan nilai yang subjektif," katanya.

Senada, anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hamdan Rasyid meminta masyarakat tidak mudah terpancing terkait penryataan seseorang yang kemungkinan menyinggung SARA. Dia mengatakan, publik perlu mendalami dulu pernyataan orang tersebut sebelum melaporkannya ke kepolisian.

"Kalau umat Islam selalu menanggapi masalah seperti ini kapan kita bisa membangun pendidikan dan ekonomi Islam yang baik? Karena selalu dihebohkan belum apa-apa kita sudah sibuk ngurusi ini," kata Hamdan Rasyid.

Dia mengimbau masyarakat agar jangan sampai dipalingkan dari tujuan utama, yakni mengembangkan kualitas dan ekonomi SDM. Dia meminta publik untuk tidak disibukkan dengan hal tersebut dan mempercayakan penyelesaian jika ada kasus itu oleh pihak berwenang.

Menurutnya, publik jangan sampai terpengaruh agenda setting tertentu yang membuat fokus masyarakat teralihkan dalam membangun bangsa. Hal itu, dia mengatakan, pada akhirnya akan membuat Indonesia dan umat Islam selalu tertinggal.

"Jangan sampai umat Islam juga emosional kemudian semua energi hanya untuk mengurusi seperti ini, itukan sayang karena kita enggak akan sempat berkembang nanti," katanya.

Hamdan mengatakan, perlu adanya pembinaan terhadap umat Islam termasuk pejabat dan politikus agar jangan mudah menyampaikan tanggapan-tanggapan negatif yang membuat heboh masyarakat. Dia menegaskan, tidak ada manfaat yang didapat dari membandingkan satu sosok tertentu dengan Rasullulah.

"Rasul itu pemimpin umat seluruh dunia yang sudah diakui kehebatannya, bahkan tokoh-tokoh dunia juga mengakui jadi enggak dapat dibandingkan," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement