REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan, masih ada ruang untuk membuat kebijakan yang akomodatif. Hanya saja, bank sentral belum menjelaskannya secara detail mengenai rencana relaksasi kebijakan selanjutnya.
"Bentuknya bisa berupa kebijakan moneter, makroprudensial, dan lainnya," kata Gubernur BI Perry Warjiyo kepada wartawan di Jakarta, Kamis, (21/11). Ia menyatakan, BI akan mencermati kondisi ekonomi global dan domestik terlebih dulu.
Perlu diketahui, sepanjang 2019 BI telah menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebanyak empat kali atau sebesar satu persen. Kini, BI memutuskan untuk mempertahankan BI7DRRR di level 5 persen. Hal itu sebagai upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perlambatan ekonomi global.
Tadi sudah saya bacakan, ke depan BI akan melanjutkan bauran kebijakan yang akomodatif. Akomodatif apa? BI kan punya banyak instrumen, bisa dalam bentuk suku bunga, likuiditas, dan lain-lain," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Kantornya.
Instrumen bauran kebijakan Bank Indonesia lainnya, kata Perry, juga terus diarahkan demi mendorong pertumbuhan ekonomi. "Kebijakan makroprudensial tetap akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit perbankan dan memperluas pembiayaan bagi perekonomian, dengan tetap mempertahankan terjaganya stabilitas sistem keuangan," ujarnya.
Sejalan dengan itu, BI mempertahankan rasio Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar nol persen dan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar empat persen, dengan fleksibilitas repo sebesar 4 persen. Sementara, kebijakan sistem pembayaran dan kebijakan pendalaman pasar keuangan terus diperkuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah dan otoritas terkait pun terus diperkuat. Ini bertujuan mempertahankan stabilitas ekonomi, mendorong permintaan domestik, serta meningkatkan ekspor, pariwisata, dan aliran masuk modal asing, termasuk Penanaman Modal Asing (PMA)," jelas Perry.