REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Portfolio investasi syariah secara nasional dinilai masih rendah. Sekretaris Bidang Pasar Modal Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), M Bagus Teguh Perwira, mengatakan diperlukan peran berbagai pihak dalam meningkatkan portofilio investasi syariah ini.
"Semuanya berperan, pemerintah harus lebih banyak lagi menerbitkan instrumen syariah," ujar Teguh saat ditemui dalam acara Sharia Investment Week 2019, di Jakarta, Kamis (21/11).
Teguh mengakui, pertumbuhan industri pasar modal syariah memang meningkat pesat, terlebih dari sisi jumlah investor ritel. Namun, untuk meningkatkan portfolio investasi syariah secara nasional dibutuhkan lebih banyak investor dari kalangan korporasi.
Menurut Teguh, rendahnya minat korporasi masuk ke pasar modal syariah sejalan dengan pemahaman yang masih rendah terhadap pasar modal itu sendiri. Misal, ketika membutuhkan dana korporasi lebih memilih menerbitkan obligasi ketimbang sukuk lantaran tidak familiar dengan mekanisme surat utang syariah tersebut.
Untuk itu, Teguh menegaskan, selain ke kalangan individu, sosialisasi juga harus gencar dilakukan ke kalangan korporasi. Selain itu, pemberian berbagai insentif bagi korporasi yang menerbitkan sukuk juga diperlukan sehinga pertumbuhan pasar modal syariah akan lebih signifikan.
"Jadi dibutuhkan political will dari pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ada keberpihakan," tutur Teguh.
Berdasarkan data OJK, secara industri pangsa pasar sukuk korporasi adalah terendah di antara instrumen lainnya. Per 8 November 2019, pangsa pasar sukuk korporasi tercatat sebesar 6,77 persen dengan nilai Rp 30,84 triliun.
Pada urutan pertama, instrumen yang memiliki pangsa pasar tertinggi yaitu saham syariah sebesar 53,18 persen dengan nilai Rp 3.778 triliun, diikuti sukuk negara sebesar 18,93 persen dengan nilai Rp 758 triliun, dan reksa dana syariah sebesar 9,27 persen dengan nilai Rp 50,8 triliun.