REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah sebesar 50 basis poin (bps) untuk bank konvensional dan syariah, diharapkan bisa mengakselerasi penurunan suku bunga simpanan serta kredit. Hal itu seiring melonggarnya likuiditas.
"Bank-bank tidak harus khawatir dihadapkan pada kondisi likuiditas yang ketat seperti waktu-waktu lalu. Bank-bank pun tidak tergoda menaikkan suku bunga, tapi sebaliknya menurunkan arah suku bunga sebagaimana diharapkan oleh Presiden Jokowi," ujar Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto melalui di Jakarta, Kamis, (21/11).
Lebih lanjut, ia meyakini permintaan kredit akan meningkat di 2020 mendatang. Itu sejalan dengan semangat pemerintah baik kementerian maupun lembaga (K/L) dalam mempercepat penyerapan anggarannya.
"Yang pasti, keputusan RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI tersebut tentu direspons positif oleh pelaku pasar. Baik perbankan maupun sektor riil," kata Ryan menanggapi semua keputusan RDG BI yang diumumkan hari ini.
Menurutnya, Semangat bauran kebijakan BI yang akomodatif sungguh tepat dan patut diapresiasi sebagai jamu manis untuk menangkal efek tekanan eksternal seperti Trade War, Brexit, serta Geopolitik kawasan. Dengan begitu perekonomian nasional bisa didorong ke level pertumbuhan 5,06 persen pada 2019 dan 5,1 sampai 5,3 persen pada 2020.
"Semua langkah BI yang sudah on the right track akan semakin mantul jika disinkronisasi dengan kebijakan fiskal yang sifatnya counter cyclical seperti relaksasi kebijakan fiskal, percepat belanja barang dan modal oleh K/L, dan insentif fiskal," ujar dia. Kebijakan moneter dan fiskal yang harmonis sekaligus sinkron, tambahnya, akan mendongkrak kepercayaan pasar serta dunia usaha.
Dalam RDG yang digelar pada 20 sampai 21 November, BI turut memutuskan untuk mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,00 persen. Suku bunga Deposit Facility juga tetap sebesar 4,25 persen, begitu pula suku bunga Lending Facility tidak berubah di angka 5,75 persen.