REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pada level lima persen. Kebijakan ini disertai dengan relaksasi penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 0,50 persen bagi perbankan konvesional dan syariah.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto mengatakan penurunan GWM dapat lebih melonggarkan kondisi likuiditas. Sehingga, menurutnya, diharapkan bisa mengakselarasi penurunan suku bunga simpanan dan kredit.
“Bank-bank tidak harus khawatir dihadapkan pada kondisi likuiditas yang ketat seperti waktu yang lalu. Bank tidak tergoda untuk menaikkan suku bunga, tapi sebaliknya menurunkan arah suku bunga sebagaimana diharapkan oleh Presiden Jokowi,” ujarnya kepada Republika di Jakarta, Jumat (22/11).
Ke depan, Ryan menyakini permintaan kredit akan meningkat pada tahun depan. Hal ini seiring dengan semangat pemerintah (K/L) untuk mempercepat penyerapan anggarannya.
“Yang pasti, keputusan RDG BI tersebut tentu direspon positif oleh pelaku pasar, perbankan dan sektor riil,” ucapnya.
Menurutnya bauran kebijakan BI yang akomodatif patut diapresiasi sebagai 'jamu manis' untuk menangkal efek tekanan eksternal seperti perang dagang, Brexit, geopolitik kawasan, sehingga perekonomian nasional bisa didorong ke level pertumbuhan 5,06 persen pada akhir tahun ini. Sekaligus bauran kebijakan moneter dan fiskal yang sinkron akan mendongkrak kepercayaan pasar dan dunia usaha.
“Semua langkah BI sudah on the right track akan semakin mantul jika disinkronisasi dgn kebijakan fiskal yg sifatnya counter cyclical (relaksasi kebijakan fiskal, percepat belanja barang dan modal oleh K/L, dan insentif fiskal),” paparnya.
Sepanjang tahun ini, BI telah menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebanyak empat kali atau sebesar satu persen. Kini, BI memutuskan untuk mempertahankan BI7DRRR pada level lima persen. Hal itu sebagai upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perlambatan ekonomi global.