Jumat 22 Nov 2019 14:16 WIB

CIMB Niaga Syariah: Sebaiknya Spin Off Ditunda

Banyak unit usaha syariah bank yang kesulitan bergerak bahkan untuk meningkatkan aset

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Direktur Syariah Banking CIMB Niaga Pandji P. Dajajanegara saat memberikan paparan kinerja dan kondisi perbankan syariah Media Training and Gathering tentang Perbankan Syariah di Bogor, Jumat (22/11).
Foto: Republika/Lida Puspaningtyas
Direktur Syariah Banking CIMB Niaga Pandji P. Dajajanegara saat memberikan paparan kinerja dan kondisi perbankan syariah Media Training and Gathering tentang Perbankan Syariah di Bogor, Jumat (22/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan spin off Unit Usaha Syariah (UUS) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diharapkan bisa ditunda. Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga Syariah) mengaku pesimistis bisa melaksanakan spin off jika tanpa terobosan.

"Saya pesimistis ini bisa membuat pangsa perbankan syariah kita jadi 20 persen," kata dia kepada Republika di Bogor, kemarin.

Baca Juga

Menurutnya, terlalu banyak UUS kecil yang kesulitan bergerak bahkan untuk meningkatkan aset. Indonesia memiliki 14 Bank Umum Syariah dan 20 Unit Usaha Syariah yang sebagian besar milik Bank Pembangunan Daerah dengan aset di bawah Rp 5 triliun.

Untuk membesarkan UUS, maka diperlukan penambahan modal dari induk agar bisa ekspansi. Sementara itu, induk bank pun masih kesulitan meningkatkan performa kinerja karena tidak bisa mengambil dana-dana murah masyarakat.

"Kalau mau ambil dana murah itu harus punya cabang banyak atau go digital, jadi harus investasi miliaran, kalau aset juga miliaran ya tidak bisa," kata Pandji.

Untuk meningkatkan sumber dana, bank bisa mengambil dari dana mahal seperti deposito. Namun jika return deposito tinggi, maka leveraging ke pembiayaan akan membuat pricing lebih tinggi. Akhirnya, bank tidak kompetitif.

Belum lagi permasalah inflasi yang membuat biaya operasional bank seperti gaji akan meningkat. Saat suku bunga naik maka akan berimbas pada likuiditas bank yang mudah mengetat. Pandji menyebutnya bagai lingkaran setan yang bisa mematikan bank-bank kecil.

Opsi merger untuk bank-bank daerah juga sulit dilakukan. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seperti menentukan managemen sumber daya yang tersebar dimana-mana, porsi kepemilikan pemerintah daerah, dan lain-lainnya.

Belum ada peraturan pendukung membuat kebijakan spin off masih pincang. Termasuk urusan pajak yang belum diurus antar regulator. Pandji melihat banyak halangan dan peraturan yang belum mendukung kondisi industri pasca spin off.

Selain itu, ia melihat tren kinerja UUS lebih baik saat masih leveraging dengan induk. Sejumlah rasio seperti Biaya Operasional Pendapatan Operasional Bank (BOPO), Return on Asset (ROA), Net Operating Margin (NOM), dan Non Performing Financing (NPF) tercatat lebih baik.

"Kita lihat rasio-rasio UUS lebih bagus daripada BUS," katanya.

Pandji mengatakan rekomendasi-rekomendasi tersebut sudah disampaikan pada regulator. Bahwa industri meminta agar kebijakan spin off pada 2023 ditunda. Namun karena menyangkut UU, akan sulit jika harus mengamandemen karena proses birokrasi.

"Tapi katanya akan ada UU terkait perbankan baru, mudah-mudahan bisa direvisi," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement