REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) mengakomodir aspirasi anggota yang meminta penundaan kebijakan spin off unit usaha syariah (UUS) perbankan. Direktur Eksekutif Asbisindo, Herbudhi S Tomo mengatakan rekomendasi tersebut akan disampaikan pada regulator.
"Para pelaku meminta kalau bisa 2023 itu tidak jadi target, maka itu kita usulkan," kata pria yang akrab disapa Tomo itu di Media Syariah Gathering Training 2019 di Bogor, Jumat (22/11).
Selain tidak menargetkan pada tahun 2023, pemain industri juga menyarankan spin off berdasarkan pada modal inti bank. Bank bisa terlepas dari induknya jika sudah menjadi bank Buku III. Dengan modal inti minimal Rp 5 triliun, bank lebih bebas ekspansi.
Tomo menyampaikan sebagian besar UUS menyepakati bahwa operasional lebih efisien dibanding pisah dengan induk. Di era disrupsi digital, efisiensi menjadi keharusan bagi bank untuk bisa bersaing di industri.
"UUS saat ini bisa menggunakan leveraging model, sinergi dengan induk, jadi tidak harus punya cabang sendiri, bisa menempel atau sistem channeling, tidak harus investasi sendiri," katanya.
Sinergi termasuk platform IT, organisasi bank induk, infrastruktur, sumber daya manusia, komite dan data nasabah. Model bisnis seperti ini berdampak pada efisiensi.
Pada 25 November 2019, Asbisindo akan menyampaikan sejumlah rekomendasi termasuk perkembangan industri kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tomo mengatakan secara umum, Asbisindo memiliki sejumlah saran untuk meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah.
Saran tersebut telah disampaikan ke Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang menampun saran dari semua pelaku industri ekonomi syariah, tidak hanya sektor keuangan. Tomo menyampaikan Asbisindo memberi gambaran pertumbuhan industri secara organik akan tetap membawa pangsa pasar sebesar enam persen.
"Kita perlu pertumbuhan yang anorganik, agar aset bisa mencapai Rp 3.000 triliun pada 2024, pangsanya jadi 20 persen," katanya.
Pertumbuhan anorganik tersebut dapat didorong oleh pemberian insentif khusus dari regulator dan munculnya bank syariah dengan aset besar. Tomo menyampaikan, industri perbankan syariah butuh insentif pajak. Contoh, pajak deposito syariah.
Menurutnya, karakteristik deposito syariah mirip seperti reksa dana karena tidak bisa memastikan return. Namun, pajak deposito syariah sama dengan deposito konvensional sebesar 20 persen, sementara reksa dana sebesar lima persen.
Tomo meyakini, jika pajak deposito turun maka pricing pembiayaan bank syariah akan sangat kompetitif. Pengamat Marketing, Yuswohady menilai minimnya pertumbuhan perbankan syariah terjadi karena bank memang kurang kompetitif.
"Layanannya masih belum bisa bersaing, pelayanannya, juga karena kurang promoting," kata dia.
Literasi terkait perbankan syariah juga masih perlu ditingkatkan. Pangsa pasar yang masih terjebak di lima persen dalam 10 tahun terakhir pun terjadi karena kurang keberpihakan dari pemerintah. Sehingga ia menilai tanpa terobosan dari regulator, maka momentum sulit dilakukan.