REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) atau Jasindo Didit Mehta Pariadi mendukung rencana pembentukan lembaga penjamin polis asuransi (LPP). Urgensi tersebut mengingat semakin banyak permasalahan keuangan yang terjadi pada sejumlah perusahaan belakangan ini.
Didit menjelaskan, cara kerja perusahaan asuransi dan reasuransi adalah spreading of risk atau pembagian risiko. Misalnya, PT Jasindo menyebarkan risiko ke 10 perusahaan asuransi. Apabila salah satu di antaranya ‘menyerah’ dengan berbagai alasan, maka Jasindo yang akan menanggung masalah.
"Artinya, risiko itu jadi resiko kita," ucapnya ketika ditemui di Gedung Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu), Jakarta, Jumat (22/11).
Apabila sudah dibentuk, fungsi LPP akan sama seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi industri perbankan. LPP akan bertindak sebagai pemberi jaminan polis nasabah sekaligus menjaga stabilitas sistem asuransi sesuai dengan kewenangan yang berlaku
Didit mengatakan, keberadaan lembaga penjamin polis asuransi sudah lama dibahas oleh industri dalam negeri ataupun internasional. Mereka mempertanyakan, dampak yang akan terjadi ke Indonesia apabila ada satu atau dua perusahaan asuransi besar bermasalah.
Didit menyebutkan, kehadiran lembaga ini belum menjadi hal populer. Masih ada beberapa negara yang belum menerapkannya. Tapi, mengingat tingginya potensi bencana alam di Indonesia yang menyebabkan risiko meningkat, maka keberadaan lembaga penjamin polis asuransi menjadi sangat penting.
Usulan ini sebenarnya sudah beberapa kali disampaikan oleh industri. Hanya saja, Didit menjelaskan, keputusannya kembali lagi kepada pemerintah. "Mungkin nggak mungkin (terbentuk) ya itu kembali lagi ke pemerintah," katanya.
Pembentukan LPP sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Dalam pasal 53 ayat 1 disebutkan, perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.
Seharusnya, pengimplementasian aturan tersebut paling lambat tiga tahun setelah undang-undang perasuransian terbit, yaitu Oktober 2017. Tapi, sampai saat ini, LPP masih belum dibentuk.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Dalimunthe menyampaikan, keberadaan LPP akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Hasil akhirnya, penetrasi asuransi pun dapat semakin tinggi. "Masyarakat nggak lagi untuk berasuransi, karena perusahaan (asuransi) sudah ada yang menjamin," katanya.
Dalam catatan Dody, tingkat penetrasi asuransi di masyarakat Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kini baru mencapai 2,7 persen. Apabila dirinci lagi, penetrasi asuransi umum terhadap PDB masih sangat kecil, yakni di bawah 0,2 persen.
Meski mendukung, Dody memberikan catatan terhadap rencana pembentukan LPP. Ia berharap, keberadaan lembaga baru ini tidak menjadi tambahan beban bagi industri asuransi. Pasalnya, nanti perusahaan asuransi akan diwajibkan membayar pungutan untuk penjaminan polis.
Selama ini, Dody menjelaskan, pihaknya terus memberikan masukan dan saran tersebut kepada pemerintah yang dalam hal ini adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu. "Kami belum sampai menghitung besarannya, tapi harapan kami tidak terlalu tinggi," ucapnya.
Selain itu, Dody menambahkan, AAUI mengusulkan agar LPP dimasukkan saja ke dalam LPS. Artinya, LPS akan memiliki ruang atau divisi tersendiri untuk asuransi.
Menurut Dody, upaya tersebut akan lebih efisien, terutama untuk industri asuransi. Sebab, tidak perlu ada sumber dana maupun sumber daya manusia khusus untuk membangun LPS. "Nanti tinggal bayar iuran saja, seperti halnya perbankan ke LPS," katanya.
Sebelumnya, wacana pendirian LPP disampaikan dalam rapat antara Komisi XI DPR dengan OJK pada Senin (18/11). Keberadaan LPP dirasa perlu, mengingat banyaknya masalah keuangan yang membebani perusahaan asuransi jiwa yang pada akhirnya merugikan pemegang polis.