REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) mensyaratkan soal edukasi kesehatan reproduksi merupakan bekal wajib dalam bimbingan perkawinan untuk mendapatkan sertifikasi perkawinan.
"Karena kami dari BKKBN yang merupakan bagian yang bertugas untuk pemberdayaan keluarga dan kami gemas dengan kematian ibu yang tinggi serta kematian bayi yang tinggi kemudian stunting yang tinggi," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo di Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Perlukah Sertifikasi Perkawinan?", di Kemenkominfo, Jakarta, Jumat (22/11).
Hasto Wardoyo menambahkan tingginya angka kematian ibu hamil dan anak ini bersumber dari proses reproduksi. Ia mengaku optimistis ketika ada aplikasi ini bisa dimanfaatkan untuk memberikan masukan proses reproduksi sebelum pasangan suami istri bereproduksi.
Karena itu, Pihak BKKBN menyambut baik rencana sertifikasi perkawinan atau pranikah karena pemerintahan Jokowi menginginkan Indonesia mendapatkan generasi unggul melalui kualitas keluarga harmonis dan sehat.
Hasto Wardoyo meminta agar proses bimbingan perkawinan ini tidak perlu mempersulit calon pasangan. Setidaknya melalui edukasi kesehatan reproduksi, suami paham ketika membuat stres saat istri hamil akan membahayakan sang bayi, misalnya. Begitu pula soal jarak kelahiran antara satu anak dengan yang lain minimal 30 bulan. Dengan demikian, ia menyebut anak bisa mendapatkan mendapat asupan air susu ibu (ASI) minimal selama dua tahun.
"Kemudian mengenai persoalan stunting supaya pasangan suami istri konsisten memberikan asupan gizi bernutrisi," ujarnya.