Senin 25 Nov 2019 06:10 WIB

Penambahan Masa Jabatan Presiden tak Relevan

Amendemen UUD tak perlu membahas perpanjangan periode jabatan presiden.

Penambahan masa jabatan presiden dinilai tidak relevan. Istana Presiden (ilustrasi)
Penambahan masa jabatan presiden dinilai tidak relevan. Istana Presiden (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana penambahan jabatan presiden sudah sering muncul pada periode kedua jabatan presiden. Peneliti senior LIPI Siti Zuhro menegaskan, meskipun isu ini terus berulang, penambahan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode tidak relevan.

Menurut dia, tidak ada urgensi sama sekali untuk menambah masa jabatan presiden. Ia menjelaskan, dalam konstitusi Indonesia sudah sangat jelas diatur terkait masa jabatan presiden ini. Pasal 7 UUD 1945 menyatakan masa jabatan presiden adalah lima tahun dan maksimal selama dua periode.

Baca Juga

"Konstitusi mengatakan dua periode, ya sudah bahwa akan ada amendemen konstitusi amendemen itu bukan untuk membahas perpanjangan waktu untuk presiden karena kalau itu yang terjadi, ini akan menjadi satu preseden buruk," ujar Siti saat ditemui di Menteng, Jakarta, Ahad (24/11).

Dia menambahkan, isu penambahan jabatan presiden pernah dilontarkan kader Partai Demokrat pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meski, pada akhirnya rencana tersebut mendapat berbagai penolakan.

"Jadi, menurut saya, apa yang sudah ada dalam teks, dalam konstitusi, itu yang harus diikuti. Kalaupun ada pembahasan amendemen, amendemen itu membahas hal-hal yang tidak untuk memperpanjang periode presiden," katanya.

Ia menuturkan, perlu dicari tahu terlebih dahulu apa urgensinya mengutak-atik masa jabatan presiden. Jika alasannya adalah distorsi yang terjadi di masyarakat, solusi perlu dicari agar hal tersebut tidak terjadi lagi. Karena itu, dia lebih sepakat jika masa jabatan cukup satu periode dengan masa kepemimpinan enam hingga tujuh tahun. Dengan begitu, presiden akan fokus pada pekerjaannya.

Usulan soal masa jabatan presiden ini muncul dari sejumlah pihak. Usulan pertama adalah menambah periode jabatan presiden menjadi maksimal tiga kali. Usulan kedua menambah masa jabatan presiden dari lima tahun menjadi lebih dari lima tahun tetapi hanya menjabat satu periode.

Pakar hukum tata negara Refly Harun lebih menilai masa jabatan presiden seharusnya hanya cukup satu periode tetapi dengan memanjangkan durasi waktu menjadi enam hingga tujuh tahun. Ia juga menilai masih ada opsi lain, yakni periode jabatan presiden bisa dua kali tetapi tidak secara berturut-turut.

Dengan demikian, Refly menambahkan, ada keuntungan yang bisa didapat. Pertama, presiden yang menjabat bisa berkonsentrasi pada masa jabatannya tanpa diganggu ingin dipilih kembali.

Kedua, nantinya tidak akan ada lagi pejawat saat pemilihan presiden. Karena itu, menurut dia, tidak ada lagi potensi penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan aparatur dan kekuatan yang dimiliki negara. "Selain potensi abuse of power, biar mereka yang pegang kekuasaan kepresidenan berkonsentrasi penuh dengan jabatannya," ujarnya.

Ia menilai rencana penambahan masa jabatan presiden juga harus dipisahkan dari kedudukan Presiden Joko Widodo yang saat ini tengah menjabat. Menurut dia, penambahan masa jabatan seharusnya berlaku untuk presiden setelah Jokowi.

"Jadi, Presiden Jokowi tetap menjabat selama masa lima tahun dan sudah dua periode dan selesai masa jabatan Jokowi sampai 2024. Yang kita pikirkan ini adalah bagaimana desain ke depannya," kata Refly.

photo
Refly Harun
Pengusul

Wakil Ketua MPR Arsul Sani menegaskan, rencana penambahan masa jabatan presiden bukan berasal dari MPR. Ia berkilah bahwa isu tersebut dibacanya dari media daring. Arsul menyebut, salah satu yang mengusulkan rencana tersebut adalah mantan ketua umum PKPI AM Hendropriyono.

"Kalau enggak salah 13 November itu Pak Hendropriyono, misalnya, itu menyampaikan bahwa masa jabatan presiden yang akan datang sebaiknya delapan tahun. Saya enggak tahu persis apakah beliau itu mengatakan delapan tahun untuk satu masa jabatan presiden atau kemudian yang lima tahun diubah menjadi delapan tahun setelah itu dipilih kembali," kata Arsul.

Kemudian, isu yang sama juga disampaikan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengusulkan agar masa jabatan presiden tujuh tahun dan hanya satu periode. Tidak hanya itu, rencana penambahan masa jabatan dari dua periode menjadi tiga periode, menurut dia, juga pernah disampaikan politikus Partai Nasdem di DPR.

"Saya kira itu sebagai orang per orangan, bukan sebagai fraksi. Mungkin ada ya. Memang kan boleh saja anggota DPR, anggota MPR, sebagai orang per orangan sebagaimana warga masyarakat," ujarnya.

Menurut dia, MPR menanggapi usulan-usulan tersebut sebagai sesuatu hal yang positif. Perbincangan mengenai konstitusi kembali bergeliat setelah 20 tahun amendemen. "Ya enggak salah. Itulah wujud dari the living constitution supaya bukan MK saja yang menjadi the guardian of constitution," katanya menegaskan.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menegaskan, sampai saat ini MPR masih menjaring aspirasi masyarakat. Paling tidak, menurut dia, dalam dua tahun pertama MPR akan membuka ruang konsultasi publik melalui berbagai forum. "Sampai sekarang tidak ada. Kami tidak membicarakan soal itu (penambahan masa jabatan presiden),” ujarnya. N febrianto adi saputro, ed: agus raharjo

Amendemen Pasal Jabatan Presiden:

Pasal 7 UUD 1945 mengalami amendemen pertama pada tahun 1999.

Bunyi pasal sebelumnya: Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahya dapat dipilih kembali.

Setelah amendemen: Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Sumber: UUD 1945 dan Pusat Data Republika.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement