REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshidiqie beranggapan, pihak yang mengusung ide penambahan periode jabatan presiden memiliki maksud tertentu. Pasalnya menurut dia, yang dinilai paling realistis dalam perubahan amandemen kelima hanya, menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“Bisa saja dia tidak setuju dengan ide perubahan UUD, caranya dengan memperluaskan masalah sehingga ide perubahan UUD tidak jadi sekaligus,” ujar dia ketika dikonfirmasi Republika, Senin (25/11).
Dia menegaskan, pihak tertentu itu juga dimugkinkan hanya mencari dan menarik simpati dari presiden in power, untuk tujuan tersendirinya.
Ketika ditanya terkait masa jabatan yang paling cocok, dia mengatakan sistem jabatan satu kali dengan perpanjangan masa menjabat menjadi tujuh tahun, dirasa lebih baik. Sebab menurut dia, dengan adanya sistem tersebut, Indonesia akan terbebas dari sistem petahana yang diuntungkan oleh budaya feodal.
“Dan itu masih kuat dalam tradisi politik bangsa kita,” tuturnya.
Guru besar hukum tata negara UI itu menambahkan, ide lainnya terkait masa jabatan adalah tetap dengan durasi dua kali kepemimpinan dengan waktu lima tahun. Di mana, setelah menjabat satu periode dengan waktu lima tahun, presiden tersebut harus mendapat jeda lima tahun di periode selanjutnya, sebelum menjabat kembali di periode keduanya.
“Sehingga hal itu tetap menjadikannya bebas dari sindrom petahana,” kata dia.
Jimly menyinggung soal menghidupkan kembali GBHN. Menurut dia, ada kemungkinan dengan berjalannya GBHN, kinerja pemerintah bisa berjalan secara berkesinambungan meskipun ada perubahan pemimpin.
“Ya, itulah maksud mulianya,” imbuhnya.