Selasa 26 Nov 2019 19:41 WIB

SKB Radikalisme: ASN Caci Pimpinan dan Penyebab Lainnya

Pada SKB 11 menteri, ASN dipantau penuh pergerakannya di media sosial.

[ilustrasi] Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov DKI Jakarta mengikuti upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda di Lapangan Silang Monas, Jakarata, Senin (28/10).
Foto: Republika
[ilustrasi] Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov DKI Jakarta mengikuti upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda di Lapangan Silang Monas, Jakarata, Senin (28/10).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri

Dua kebijakan pemerintah terkait radikalisme, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken 11 kementerian dan lembaga menuai persoalan. Dua aturan itu dianggap kontraproduktif dengan upaya penanganan terorisme dan radikalisme, bahkan berpotensi melanggar HAM.

Baca Juga

SKB 11 menteri meliputi penanganan radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada SKB tersebut, ASN dipantau penuh pergerakannya di media sosial. Bahkan, pemerintah akan membuat laman web sebagai portal pelaporan atas ASN yang dianggap radikal.

Sementara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Dalam PP tersebut diatur kriteria dan indikator radikalisme untuk penegak hukum menjalankan tugasnya.

Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono menyebut, SKB 11 Menteri dan Kepala Badan tak muncul tiba-tiba. Ia menuding, peraturan itu muncul karena ada temuan di lapangan.

"Artinya peraturan tidak muncul dari langit tapi dari kondisi di lapangan bahwa ternyata kenapa ASN terutama di medsos itu masih suka mengumbar ujaran kebencian, bahkan mencaci maki pimpinan maupun lembaga negara. Kan ironis. Nah inilah yang ingin kita tertibkan," kata Hariyono di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Senin (25/11).

Hariyono mengklaim, ada riset yang menyebut tingkat paparan radikalisme tinggi. Namun, ia tak menjelaskan secara rinci riset mana yang ia maksud. Ia hanya menyebut adanya temuan soal ASN terpapar radikalisme.

Ditanya mengapa SKB ini baru dikeluarkan, Hariyono menjawab tidak tahu. Ia hanya mengklaim, pemerintah saat ini menjumpai adanya radikalisme dan intoleransi yang sudah menyebar.

"Kita kan sadar, sekarang setelah merebaknya radikalisme intoleransi saja," kata dia.

SKB ini dikhawatirkan akan membatasi ruang gerak ASN yang kritis pada pemerintah. Hariyono pun mengakui adanya motif pembatasan tersebut. Justru, kata dia, pembatasan itu diperlukan untuk alasan mengamankan negara.

"Jadi kami membatasi itu dalam rangka untuk mengamankan negara. Karenan kebebasan ASN juga harus terikat etika dan aturan yang berlaku di ASN," ujar dia.

Hariyono berdalih, pemerintah memiliki tanggung jawab dalam mengamankan dan mengamalkan pancadila. Sehingga, pemerintah ingin menertibkan ASN agar selalu mengamalkan Pancasila. Ia mengklaim, SKB ini akan berlaku bagi seluruh tingkat ASN.

"Presiden sampai aparatur tingkat bawah. sehingga eksekutif mulai dari kepala desa sampai presiden itu pemerintah," ujar dia.

photo
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPIP Hariyono didampingi Direktur Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan BPIP, Aris Heru Utomo (kanan) mengisi materi sosialisasi nilai-nilai Pancasiladi Kota Batu, Jawa Timur, Senin (11/11) malam WIB.

SKB Penanganan ASN ditandatangani di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa (12/11). Dalam kesempatan ini juga diluncurkan portal aduan ASN, di laman aduasn.id.

Adapun yang menandatangi SKB ialah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Mendagri, Menkumham, Menag, Mendikbud, Menkominfo, Kepala BIN, Kepala BNPT, Kepala BKN, Kepala BPIP, dan Komisi ASN.

Nantinya masyarakat dapat melaporkan ASN yang diduga melanggar. Laporan itu bisa dibuat dengan memperhatikan poin-poin radikalisme buatan pemerintah.

Nantinya masyarakat dapar melaporkan ASN yang diduga melanggar. Berikut poin-poin aturan untuk ASN yang bisa diadukan melalui portal aduanasn.id:

  1. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
  2. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras dan antar golongan.
  3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1) dan 2) melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost dan sejenisnya).
  4. Pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
  5. Menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.
  6. Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.
  7. Keikutsertaan pada kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
  8. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1) dan 2) dengan memberikan likes, dislike, love, retweet atau comment di media sosial.
  9. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
  10. Pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.
  11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) sampai 10) dilakukan secara sadar oleh ASN.

Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebut, Komisi II DPR RI masih berupaya mendalami maksud dari terbitnya PP yang kemudian dilanjutkan dengan munculnya SKB. Legislator akan mengundang kementerian terkait untuk membahas PP dan SKB tersebut.

"Intinya kami ingin setiap peraturan itu lahir peraturan yg menyejukkan yang bisa menjaga kondusivitas, tidak kemudian mengundang kontroversi apalagi di masyarakat," kata Doli di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Senin (25/11).

Doli mengatakan, DPR akan meminta penjelasan lahirnya poin poin yang menyebabkan seseorang bisa dianggap radikal. Ia menyebut, bisa saja aturan soal radikalisme ini menyenggol hak azasi manusia (HAM) dan kebebasan berpendapat.

"Bisa terindikasi bertentangan dgn HAM, apalagi soal definisi- definisinya yang perlu di clear-kan  saya yakin pak presiden akan bisa mendengarkan itu dan kita berharap kalau banyak masukan dari masyarakat untuk merevisi peraturan pemerintah itu," ucap poltikus Golkar itu.

Doli mempertanyakan urgensi sehingga PP dan SKB itu diterbitkan. Politikus Golkar itu mempertanyakan, ada tidaknya dialog dengan kelompok masyarakat.

"Kan juga masyarakat kita ini juga terhimpun dalam kelompok-kelompok masyarakat yang secara kultural juga bisa diterima saya kira baiknya akan dilakukan dialog itu," ujar dia.

Doli mengatakan, jangan sampai SKB yang membuat portal aduan ASN itu berlaku kontraproduktif. Kinerja ASN justru menjadi tidak optimal dan menjadi masalah hukum baru.

Anggota DPR RI Komisi II Sodik Mudjahid menilai, SKB tersebut mengekang kebebasan berpendapat para ASN karena dalam salah satu pasalnya mengatur ASN dalam memberikan pendapat di media sosial. Sodiq khawatir adanya SKB itu malah membuat kemunduran pada reformasi dan balik ke zaman Orde Baru.

“Saya jadi teringat pegawai negeri zaman Orde Baru. Nanti jangan-jangan, nanti pemilu pun dilaksanakan di kantornya. Sekarang sudah ada gejala begitu padahal kita bersemangat reformasi itu adalah menuju alam demokrasi yang lebih hebat, kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan sikap, kebebasan memilih sikap politik, ini sesuatu yang harus kita waspadai,” kata Sodik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/11).

Menurutnya, SKB itu juga berpotensi bertolak belakang dengan reformasi birokrasi yang selama ini digemborkan pemerintah. Apalagi aturan yang sampai masuk ke ranah probadi seperti media sosial para ASN, dinilai Sodiq sudah termasuk tindakan represif.

Daripada SKB itu, Sodik berharap pemerintah bisa menggunakan pendekatan lainnya dalam rangka penanganan paham radikalisme, yakni dengan penguatan intelijen dan aparat keamanan. Sodik khawatir, pengekangan terhadap ASN justru bakal kontraproduktif bagi pemerintah.

“Dengan perlakuan yang tidak pas dengan perlakuan yang tidak pas maka kita khawatirkan yang terjadi sebaliknya, bukan mereka makin loyal, bukan mereka makin sesuai harapan pemerintah, justru mereka memendam sesuatu. Akibatnya apa? Produktivitas yang kita harapkan tidak terjadi,” ujarnya.

Pihak Istana Kepresidenan menegaskan posisinya tidak anti terhadap kritik dan masukan yang diberikan masyarakat, termasuk dari ASN. Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan, munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri dan Kepala Badan mengenai radikalisme di kalangan ASN bukan berarti mengekang kebebasan berekspresi para pegawai pemerintah. SKB ini memang menuai kritik lantaran ikut mengatur ASN yang berpendapat di ruang publik, termasuk media sosial.

"Kritik dari ASN kan ada mekanismenya. ASN beda dengan yang lain karena ada aturan main yang atur ASN," kata Pramono di kantornya, Senin (25/11).

“Saya jadi teringat pegawai negeri zaman Orde Baru," kata anggota DPR RI Komisi II Sodik Mudjahid.

Terkait anggapan masyarakat bahwa munculnya SKB radikalisme hanya menyasar ASN yang diduga melakukan ujaran kebencian kepada pemerintah, Pramono menampiknya. Menurutnya, ujaran kebencian yang bisa dilaporkan melalui kanal aduan bukan hanya ujaran kepada pemerintah, melainkan ujaran yang disampaikan kepada pihak manapun di luar pemerintah.

"Ujaran kebencian itu bisa ke siapa saja. Kritik kepada pemerintah itu wajib. Pemerintah sama sekali tidak alergi terhadap kritik. Yang kita tidak mau, bagaimana kemudian ujaran kebencian menjadi konsumsi sehari-hari. Kita harus bedakan kritik dengan ujaran kebencian," jelas Pramono.

Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menjelaskan mengenai urgensi diterbitkannya SKB 11 Menteri terkait penanganan radikalisme pada ASN dan PP No 77 tahun 2019 tentang pencegahan tindak pidana terorisme dan perlindungan terhadap penyidik, penuntut umum, hakim dan petugas pemasyarakatan. Menurut dia, SKB 11 Menteri dan PP Nomor 77/2019 tersebut merupakan panduan pendekatan untuk melakukan deredikalisasi secara komprehensif.

 “Tidak hanya pendekatan keamanan, pendekatan komprehensif itu bisa melalui pendidikan edukasi, perbaikan infrastruktur sosialnya, infrastruktur pendidikan, perbaikan dan lain-lain,” ujar Moeldoko di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (26/11).

 

photo
Aplikasi Lain Dipantau

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement