REPUBLIKA.CO.ID, Nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita, tidaklah terhitung banyaknya. Bahkan kalau kita mencoba melakukan hitungan itu, tidak akan kita mampu karena banyaknya. "Dan jika kamu (mencoba) menghitung (nikmat Allah), pastilah tidak akan mampu melakukannya," demikian firman-Nya dalam Alquran.
Mensyukuri nikmat, antara lain dengan cara lisan, yakni mengucapkan hamdalah, alhamdulillah. Seraya dicamkan dalam hati, betapa Mahakasih dan Mahasayangnya Allah. Sedangkan bersyukur dalam bentuk perilaku adalah memperlakukan nikmat yang ada sesuai yang dikehendaki Allah, Sang Pemberi Nikmat.
Nikmat sehat misalnya, tentu saja harus disyukuri dengan menggunakan kesehatan itu dengan giat beribadah kepada-Nya. Juga, termasuk bersyukur, adalah memelihara kesehatan itu. Misalnya dengan berolahraga dan memakan makanan yang halal dan bergizi.
Mensyukuri nikmat sehatnya (normalnya) pendengaran, penglihatan, dan suasana hati, haruslah disyukuri dengan jalan hanya mendengar, melihat, dan merasakan yang baik-baik dan halal saja menurut aturan Islam. Yaitu berupaya sekuat tenaga hanya melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang tidak membuat kita lupa kepada Allah (dzikrullah), atau menghindari hal-hal yang dapat membuat lupa kepada-Nya dan mendorong kita memperturutkan hawa nafsu syaithoniyah.
Imam Ghazali menyebutkan, syukur itu tersusun dari tiga hal, yaitu ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan). Ilmunya ialah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari Allah SWT. Keadaannya adalah menyatakan kegembiraan karena memperoleh kenikmatan. Amalnya adalah menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan serta yang dicintai oleh Allah SWT yang memberi kenikmatan itu untuk dilaksanakan.
Syukur dalam bentuk amal berkaitan dengan amalan hati, anggota badan, dan lisan. Kaitannya dengan hati adalah sengaja berbuat kebajikan dan merahasiakanya kepada seluruh makhluk. Hubungannya dengan lisan adalah mengucapkan pujian, hamdalah, yakni mengucapkan "alhamdulillah" (segala puji bagi Allah). Kaitannya dengan anggota badan adalah mempergunaan kenikmatan itu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT, tidak mempergunakannya untuk berbuat maksiat.
Dengan demikian, nikmat harta disyukuri dengan menggunakan harta itu untuk kebaikan semata, sesuai dengan perintah Allah SWT, yakni untuk nafkah diri, keluarga, kerabat, dan kaum dhuafa dengan tetap mengeluarkan zakat, infak, dan sedekahnya. Termasuk syukur terhadap nikmat harta adalah mempersembahkan harta itu untuk jihad di jalan Allah atau menegakkan syi'ar Islam.
Allah SWT menjanjikan, amalan syukur disertai iman adalah penghalang turunnya siksa Allah di muka bumi ini. Sebuah bangsa tidak akan mengalami krisis atau kesulitan jika mereka beriman dan bersyukur. Tidaklah Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman (QS an-Nisaa: 147).
Dia pun akan terus menambah kenikmatan itu jika kita pandai mensyukuri nikmat yang sudah diberikan-Nya (QS Ibrahim: 7). Sayangnya, sedikit sekali dari kita, hamba-hamba Allah, yang pandai bersyukur (QS Saba: 13), sehingga kesusahan kerap menimpa kita.