REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Ribuan warga Palestina menggelar demonstrasi di beberapa pusat kota Tepi Barat, Selasa (26/11). Mereka menentang keputusan Amerika Serikat yang tak lagi memandang ilegal permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki.
Demonstrasi dilaksanakan di Ramallah, Nablus, Tulkarm, Betlehem, dan Hebron. Para tokoh dari faksi-faksi politik Palestina, termasuk Fatah, turut berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut. "Para pemimpin politik berbicara kepada massa tentang dampak keputusan AS terhadap situasi di lapangan dan berjanji melawan deklarasi itu di tingkat lokal dan internasional," kata kantor berita Palestina, WAFA, dalam laporannya.
Aksi unjuk rasa sempat diwarnai kericuhan pintu masuk utara Ramallah. Pasukan Israel menghujani massa dengan tembakan gas air mata dan peluru logam berlapis karet. Kejadian serupa terjadi di pintu masuk utara Betlehem.
Sejumlah warga Palestina dilaporkan mengalami luka-luka. Terdapat pula seorang demonstran yang dilarikan ke rumah sakit karena kakinya tertembus peluru.
Pekan lalu Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengumumkan perubahan sikap negaranya tentang permukiman Israel yang dibangun di wilayah Tepi Barat yang diduduki. Washington tidak lagi menganggap mereka ilegal. Pompeo telah menghapus pendapat hukum Departemen Luar Negeri AS tahun 1978 yang menyatakan permukiman Israel tidak konsisten dengan hukum internasional.
Palestina telah mengutuk langkah terbaru AS tersebut, sementara Israel menyambutnya dengan gembira. Dewan Keamanan PBB telah menggelar pertemuan guna membahas perubahan sikap AS terkait permukiman Israel pada Rabu (20/11).
Sebanyak 14 negara dari 15 negara anggota Dewan Keamanan mengecam AS yang tak lagi memandang permukiman Israel di Palestina ilegal. "Seluruh aktivitas pembangunan permmukiman (oleh Israel) adalah ilegal di bawah hukum internasional dan mengikis kemungkinan tercapainya solusi dua negara serta perdamaian yang permanen," kata Dubes Kerajaan Inggris di PBB Karen Pierce.
Saat ini terdapat lebih dari 100 permukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Permukiman itu dihuni sekitar 650 ribu warga Yahudi Israel. Masifnya pembangunan permukiman ilegal, termasuk di Yerusalem Timur, dinilai menjadi penghambat terbesar untuk mewujudkan solusi dua negara antara Israel dan Palestina.