REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan, kewenangan untuk mencabut hak politik seseorang berada di tangan hakim pengadilan. Menurut dia, undang-undang tidak melarang mantan narapidana kasus korupsi dipilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Kalau itu memang mau dialihkan ke KPU kami harus mengkaji kembali hal tersebut karena berdasarkan undang-undang tidak ada larangan terkait itu," ujar Eddy saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (26/11).
Ia menilai, masyarakat sudah pintar menentukan kepala daerah yang dipilih dengan mempertimbangkan rekam jejak. Dengan demikian, apresiasi terhadap kedewasaan politik masyarakat perlu diapresiasi.
Selain itu, lanjut Eddy, siapa pun yang telah menjalankan hukuman kurungan penjara, diibaratkan telah melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara yang dihukum karena perbuatannya. Warga yang sudah bebas memiliki hak dan kewajiban yang sama termasuk dipilih dan memilih.
Sehingga, ia meminta, semua pihak tak memukul rata dengan menilai setiap orang yang pernah melakukan korupsi akan mengulang perbuatannya saat menjabat sebagai pemimpin daerah. Menurutnya, kasus kepala daerah yang melakukan korupsi berulang tak dapat digeneralisasikan.
Eddy menuturkan, PAN berkomitmen menghadirkan calon kepala daerah yang berintegritas dan bersih. Akan tetapi, ia juga membuka ruang seluas-luasnya bagi setiap orang yang ingin maju menjadi kepala daerah termasuk mantan napi korupsi, tetapi dengan evaluasi rekam jejak terlebih dahulu.
"Saya bilang kita terbuka untuk itu, kita lakukan kajian, bagaimana pun juga kembali lagi kita untuk menciptakan pemerintahan yang bersih," kata dia
Eddy mengatakan, PAN belum melakukan kampanye khusus kepada masyarakat untuk memilih kepala daerah yang bersih dari tindakan korupsi. Akan tetapi, ia mengaku bahwa PAN telah menyampaikan bahaya laten dari politik uang atau money politic saat pemilihan berlangsung.