REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Abdul Karim, membenarkan bahwa narapidana kasus korupsi yang juga mantan Gubernur Riau, Annas Maamun, dijadwalkan bebas pada 2020 setelah mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Maamun mendapat grasi dari Presiden Jokowi, yaitu pengurangan masa hukuman satu tahun, sehingga akan bebas pada 3 Oktober 2020.
"Yang bersangkutan seharusnya keluar 3 Oktober 2021. Karena mendapat grasi dikurangi satu tahun jadi (bebas) 3 Oktober 2020," kata Karim di Bandung, Rabu (27/11).
Ia mengatakan, Maamun telah mengajukan permohonan grasi sejak 16 April 2019. Sedangkan pengelola LP Sukamiskin, kata dia, hanya membuat surat pengantarnya kepada Presiden Jokowi.
Menurut dia, Maamun mengajukan grasi karena alasan kemanusiaan dan kesehatan karena menderita sejumlah penyakit di usia tuanya."Kesehatan (Annas) sudah mulai menurun dan mengidap berbagai penyakit sesuai keterangan dokter," kata Karim.
Berdasarkan keterangan dokter, Maamun mengidap PPOK (COPD akut), sindrom dispepsia (depresi), gastritis (lambung), hernia dan sesak nafas dengan membutuhkan pemakaian oksigen setiap hari. Seperti diketahui, kasus Maamun berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 September 2014 hingga putusan berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung pada 4 Februari 2016.
Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM membenarkan Maamun mendapat grasi dari presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G/2019 tentang pemberian grasi yang ditetapkan pada 25 Oktober 2019. Grasi yang diberikan Presiden berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara tujuh tahun menjadi enam tahun. Namun, pidana denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan tetap harus dibayar.
Presiden Jokowi hari ini buka suara soal pemberian grasi untuk Annas Maamun. Jokowi menyatakan, tidak semua grasi (pengurangan masa pidana) dikabulkan.
"Tidak semua yang diajukan kepada saya kita kabulkan. Coba dicek, berapa ratus yang mengajukan dalam satu tahun yang dikabulkan berapa. Dicek betul," kata Presiden Jokowi, di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang Pemberian Grasi tertanggal 25 Oktober 2019 menyatakan Presiden memberikan pengurangan jumlah pidana untuk Annas dari pidana penjara 7 tahun menjadi pidana penjara selama 6 tahun. Namun pidana denda Rp200 juta, subsider pidana kurungan selama 6 bulan tetap harus dibayar.
Menurut data pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Annas seharusnya bebas pada 3 Oktober 2021. Namun, setelah mendapat grasi pengurangan hukuman selama 1 tahun diperhitungkan akan bebas 3 Oktober 2020 dan denda telah dibayar 11 Juli 2016.
Putusan grasi itu mengembalikan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat yang menghukum Annas 6 tahun penjara pada 2015. Ia terbukti bersalah dalam korupsi alih fungsi lahan yang merugikan negara Rp5 miliar, dan pada 2018 hukumannya diperberat oleh majelis kasasi Mahkamah Agung menjadi 7 tahun penjara.
"Kenapa (grasi) itu diberikan, karena memang dari pertimbangan MA seperti itu, pertimbangan yang kedua dari Menkopolhukam juga seperti itu diberikan, yang ketiga memang dari sisi kemanusiaan ini kan juga umurnya sudah uzur dan sakit-sakitan terus, sehingga dari kaca mata kemanusiaan diberikan," kata Presiden pula.
"Tapi sekali lagi atas pertimbangan MA, dan itu adalah hak yang diberikan kepada Presiden dalam UUD," ujar Presiden menambahkan.
Pasal 6A ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan, demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi tersebut. Presiden kemudian memutuskan setelah mendapat pertimbangan hukum tertulis dari MA.
"Kita harus tahu semuanya dalam ketatanegaraan kita, grasi itu adalah hak yang diberikan kepada Presiden atas pertimbangan dari MA, itu jelas sekali dalam UUD kita, jelas sekali," ujar Presiden.
Presiden Jokowi pun meminta agar komentar mengenai pemberian grasi terhadap Annas tersebut tidak perlu diperpanjang lagi.
"Nah, kalau setiap hari kita keluarkan grasi untuk koruptor setiap hari atau setiap bulan, itu baru dikomentari, silakan dikomentari," kata Presiden.
Gubernur Riau non aktif Annas Maamun
Respons KPK
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif meminta Annas Maamun tetap kooperatif untuk dimintai keterangannya. Alasannya, KPK masih menindaklanjuti kasus yang terkait dengan Annas Maamun.
"Namun, kami berharap kalau beliau sudah di luar akan terus kooperatif untuk menindaklanjuti kasus yang berhubungan dengan dirinya," kata Laode di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI di Jakarta, Rabu.
Laode menilai Presiden Jokowi memiliki pertimbangan untuk memberikan grasi terhadap mantan Gubernur Riau tersebut, misalnya karena usia sudah tua dan sering sakit. Menurut dia, berbagai pertimbangan Presiden memberikan grasi itu di luar kewenangan KPK dan institusinya tidak bisa ikut campur.
"Presiden bisa pertimbangkan mungkin karena preseden sudah tua atau dia sudah sakit-sakit. Itu di luar kewenangan KPK, itu kewenangan pemerintah dan Presiden untuk memberikan grasi," ujarnya.
Selain itu, Laode M. Syarif mengungkapkan bahwa pihaknya kaget ketika mendengar kabar Presiden Jokowi memberikan grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun yang menjadi terpidana korupsi. Syarif mengaku sudah mendapatkan surat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Sri Puguh Budi Utami bahwa ada pemberian grasi kepada Anas dan meminta jaksa KPK melaksanakan keputusan tersebut.
"Kami sudah mendapatkan surat dari Kemenkumham dan Dirjen Lapas bahwa ada grasi dan meminta jaksa KPK untuk melaksanakan keputusan grasi tersebut, pasti akan dilaksanakan KPK," katanya.
Syarif menegaskan, bahwa pada saat bersamaan KPK juga belum mendapatkan informasi apa alasan pemerintah memberikan grasi kepada Annas. Ia mengatakan, bahwa KPK sangat kaget dengan pemberian grasi tersebut karena kasus yang menjerat Annas Maamun sebenarnya sangat banyak dan beberapa kasus masih dalam tahap penyelidikan KPK.
"Seperti korporasinya, yaitu PT Palma Satu, itu sedang dalam proses. Jadi, kami kaget juga," katanya.
Data dan Fakta Korupsi Kepala Daerah