REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta publik tak lagi membahas soal pemilihan kepala daerah (pilkada) dikembalikan ke DPRD. Ia membantah pernah mengatakan bahwa akan memberlakukan sistem pilkada tak langsung.
Menurut Tito, Kemendagri masih mengkaji lebih dalam terkait sistem pilkada dengan menggandeng pihak eksternal yakni akademisi dan para cendekiawan (Think Tank). Tak hanya itu, kajian itu juga membahas indeks tata kelola pemerintahan yang demokratis.
"Jadi nggak usah dibahas dulu itu. Intinya saya sedang mengajak teman-teman akademisi dan think tang. Selain bicara masalah sistem pilkada, indeks tata kelola pemerintahan yang demokratis. Jadi melibatkan pihak eksternal yang kredibel," ujar Tito di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (28/11) malam.
Tujuannya, kata Tito, pemerintah ingin agar pemerintahan pusat dan daerah berjalan demokratis dengan adanya pemimpin yang betul-betul dapat mengabdikan diri dan bermanfaat bagi rakyat. Sehingga, evaluasi diperlukan terhadap pilkada langsung, sistem yang selama ini diimplementasikan.
Sebelumnya, Tito juga menjelaskan, jika hasil evaluasi dan publik menyepakati pilkada langsung, maka sistem itu yang akan tetap digunakan. Akan tetapi, pemerintah akan mencari solusi atas dampak negatif dari sistem pemilihan tersebut.
"Misalnya masalah besarnya anggaran pemerintah untuk memobilisasi pilkada langsung mungkin bisa diganti dengan voting elektronik jadi tidak perlu membuat surat suara segala macam, otomatis lebih rendah," tutur Tito, Selasa (26/11).
Ia melanjutkan, evaluasi juga akan mencari solusi dari persoalan biaya tinggi yang harus dikeluarkan calon kepala daerah. Kemudian Tito juga mencari cara agar pilkada langsung bisa menghindari potensi konflik.
"(Saya) meminta pandangan mereka berkaitan dengan pilkada yang ada ini. Intinya mengurangi dampak negatif sehingga kita mengharapkan betul-betul ada pilkada yang demokratis berkualitas menghasilkan pemimpin yang bagus, cuma itu saja," ungkap Tito.