REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua orang siswa yang masih duduk dibangku SMP di kota Batam terpaksa dikeluarkan. Dua siswa tersebut dimutasi ke Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Retno Listyarti, menyayangkan pemutasian dua siswa SMP tersebut. Kedua siswa itu dimutasi gara-gara tidak mau hormat bendera pada saat upacara. Retno mengatakan, kasus siswa yang tidak mau hormat kepada bendera pada saat upacara bukan kali pertama.
“KPAI menyayangkan keputusan sekolah yang didukung oleh Dinas Pendidikan kota Batam yang memutuskan memutasi dua siswa tersebut ke PKBM. Kemungkinan besar orangtua berkeberatan anaknya dipindahkan ke PKBM, apalagi sewaktu bersekolah di jenjang SD, kedua anak itu diperbolehkan upacara meskipun tidak melakukan hormat bendera,” kata Retno dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (28/11).
PKBM sendiri kata Retno, merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat untuk masyarakat yang bergerak dalam bidang pendidikan. PKBM berada di bawah pengawasan dan bimbingan dari Dinas Pendidikan setempat. PKBM ini bisa berupa tingkat desa ataupun kecamatan.
“Banyak orangtua dan anak menganggap bahwa PKBM bukanlah sekolah formal, meskipun ujiannya kesetaraan, ijazahnya sama atau setara dengan sekolah formal si anak sebelumnya,” kata Retno.
Oleh karena itu, untuk kepentingan terbaik bagi anak, KPAI mendukung anak tetap bisa bersekolah, tetapi bukan di PKBM. Kecuali si anak memang menginginkan pindah ke PKBM.
“Anak harus didengar pendapatnya dan seharusnya sebelum keputusan memutasi, kedua anak seharusnya di assessment psikologi terlebih dahulu agar keputusan dapat mempertimbangkan kondisi psikologis kedua anak tersebut,” jelasnya.
Apalagi, sambung Retno, suasana belajar antara sekolah awal dengan PKBM tentulah sangat berbeda. Yang nantinya secara psikologis pasti akan berdampak pada anak, misalkan anak menjadi rendah diri dan kurang bersemangat dalam belajar.
Selain itu, masih menurut Retno, apakah di tatatertib sekolah tertulis ketentuan bahwa jika seorang siswa tidak mau hormat bendera maka siswa akan di beri sanksi dikeluarkan setelah pembinaan dilakukan dan tetap tidak ada perubahan. Menurutnya, sekolah tidak bisa menghukum seorang siswa tanpa didasarkan pada aturan yang ada.
Karena itu, KPAI juga mendorong ada tindaklanjut dari keputusan yang sudah diambil pihak Sekolah dan Dinas Pendidikan kota Batam. Sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Batam, melalui pengawas sekolah harus lebih intensif dan maksimal lagi memberikan pengertian kepada keluarga dengan menggandeng kementerian agama, pemerintah daerah dan tokoh agama terkait.
“KPAI mendorong dimaksimalkannya upaya persuatif dan terencana antara Pemda bersama Kementerian Agama melakukan intervensi berbasis keluarga. Karena agama anak umumnya mengikuti agama atau kepercayaan orangtuanya,” kata Retno.
Hal ini menurutnya perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran keyakinan bahwa mengangkat tangan untuk hormat bendera berbeda dengan menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa. Upaya ini juga sekaligus mengedukasi orangtua dan masyarakat untuk menguatkan nilai-nilai kebangsaan.
Diketahui, dua anak tersebut dimutasi lantaran tidak mau hormat bendera saat upacara di sekolah. Menurut orangtua, anaknya tetap menghormati proses upacara dengan cara berdiri tegap, namun dalam ajaran pemahaman kepercayaannya hormat kepada bendera adalah menyembah, sehingga si anak tetap upacara tetapi tidak hormat bendera saat upacara di sekolah.
Adapun pihak sekolah sendiri menyampaikan bahwa sudah dua tahun melakukan pembinaan, namun kedua anak tersebut tidak berubah. Sehingga sekolah memutuskan untuk mengembalikan anak ke orangtua.
Dinas Pendidikan kota Batam kemudian memutasi kedua anak tersebut ke PKBM terdekat. Keputusan diambil melalui rapat koordinasi antara Dinas Pendidikan kota Batam dengan pihak sekolah dan KPPAD Batam dan Kepri.
Kasus siswa tidak mau hormat bendera pernah terjadi juga tahun 2010 di NTT dan 2018 di Kalimantan Utara. Pada tahun 2018 di Kalimantan Utara, namun si anak tidak sekedar enggan upacara bendera dan hormat bendera, bahkan kabarnya orangtua juga melarang si anak ikut pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), sehingga nilai Pkn tidak ada di rapor hasil belajar.
Pihak sekolah dan Dinas Pendidikan setempat bersedia menerima para siswa yang bersangkutan, asalkan bersedia ikut upacara, hormat bendera, menyanyikan lagu Indonesia raya dan mengikuti pelaharan PKn. Kasus kota Batam, Kalimantan Utara maupun NTT, secara kebetulan semua anak dan orangtua adalah penganut agama Kristen.