REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin berkomitmen pemerintah akan menggunakan pendekatan yang lebih lunak dalam pembangunan maupun penyelesaian masalah yang terjadi di Papua. Itu disampaikan Kiai Ma'ruf setelah adanya aspirasi dari perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menemuinya, Kamis (28/11).
MRP berharap kebijakan pembangunan di Papua dilakukan dengan pendekatan budaya dan kemanusiaan yang lebih persuasif.
"Nanti kita akan coba terus lakukan upaya-upaya pembangunan yang lebih soft, pendekatan sosial, keagamaan, demikian juga pendidikan, dengan melalui dialog-dialog," ujar Ma'ruf saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (28/11).
Ma'ruf juga membantah jika selama ini pendekatan yang digunakan dengan cara yang represif. Ma'ruf mengklaim yang dilakukan aparat di wilayah sana adalah upaya mengendalikan keadaan.
Meski begitu, Ma'ruf berjanji akan terus mengedepankan pendekatan yang lebih persuasif kepada masyarakat Papuam
"Pemerintah tidak merasa melakukan dengan cara kekerasan. Cuma bagaimana mengendalikan keadaan, tapi kita akan mengedepankan pendekatan dialog," ujar Ma'ruf.
Ma'ruf juga merespon aspirasi agar Pemerintah mengurangi jumlah aparat keamanan di wilayah Papua. Ma'ruf berjanji, jumlah aparat keamanan akan dikurangi otomatis jika keadaan sudah kondusif.
"Kalau kondisinya sudah kondusif pasti ditarik. Itu sementara saja, mengatasi keadaan saja," ujarnya.
Sebelumnya, perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP) hari ini menemui Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis (28/11). Dalam pertemuan tersebut, MRP menyampaikan 10 aspirasi MRP berkaitan dengan kebijakan Pemerintah di Papua.
Salah satu poinnya, MRP berharap kebijakan pembangunan di Papua dilakukan dengan pendekatan budaya dan kemanusiaan. Ketua Pokja Adat MRP Demas Tokoro menilai pentingnya penghapusan tindakan kekerasan di Papua, yakni dengan mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua yang lebih persuasif.
"Di antaranya pendekatan aparat yang begitu banyak di Papua. Kalau boleh ada kebijakan negara untuk bisa diminimalisir, dikurangi yah," ujar Demas kepada wartawan usai pertemuan.
Demas beralasan, aparat keamanan yang ada di Papua dinilai kurang mampu melakukan pendekatan dengan masyarakat Papua. Sehingga, setiap ada masalah yang muncul, para aparat justru tidak bisa menyelesaikan persoalan tersebut.
"Pada prinsipnya ketika ada persoalan di sana, mereka aparat tidak cocok pada kita," ujar Cemas.
Padahal, Demas menilai pendekatan sosiologis seharusnya bisa dilakukan oleh aparat melalui, budaya, kemanusiaan, dan mental spiritual. Sebab, unsur itu penting untuk orang Papua, sebagaimana kerap dilakukan para tokoh-tokoh Papua.
Karena itu, ia berharap pendekatan bisa dilakukan dengan cara tersebut. "Misal adat, seperti saya, kami bisa atasi persoalan-persoalan itu. Jadi di Papua, kita duduk sama-sama pemerintah pusat kepala daerah bagaimana caranya mengatasi persoalan, ketegangan-ketegangan, atau gesekan-gesekan sosial yang terjadi selama ini," ujarnya.