Kamis 28 Nov 2019 19:36 WIB

Wacana Pilpres oleh MPR, Pengamat: Rakyat Mau Disalahkan?

PBNU mengusulkan pilpres kembali dipilih oleh MPR.

Kotak suara Pilpres 2014 (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Kotak suara Pilpres 2014 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Antara

Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi mengatakan, mengembalikan sistem pemilihan presiden (pilpres) ke MPR merupakan cara berpikir yang tidak tepat. Menurut dia, permasalahan yang ada dalam pelaksanaan pemilihan langsung berasal dari elite politik, tetapi demokrasi dipertaruhkan dengan mengesampingkan suara rakyat.

Baca Juga

"Lalu sekarang dikembalikan ke MPR, rakyat mau disalahkan? Apa rakyat yang salah dalam pemilu? Yang berperilaku korup, main curang siapa? Itu kan juga ada kontribusi elite," ujar Khairul kepada wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (28/11).

Ia melanjutkan, Indonesia sudah sampai ke pilihan untuk berdemokrasi dan memperkuat sistem presidensial dengan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Jika usulan pemilihan presiden dikembalikan lagi ke MPR maka sama saja dengan mengubah kedaulatan rakyat.

"Mestinya kesalahan-kesalahan di level elite. Jangan ditumpahkan dengan mengubah sistem, mengubah kedaulatan rakyat. Kita sudah memilih sistem, tinggal kelemahannya dibenerin," lanjut dia.

Sebab, kata Khairul, permasalahan pemilihan langsung bukan terletak pada siapa yang memilih. Akan tetapi, praktik dalam proses dan penyelenggaraan pemilihan itu sendiri.

Ia mempertanyakan, siapa sebenarnya yang menetapkan presidential treshold atau ambang batas pencalonan presiden sehingga berujung hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mereka adalah anggota DPR yang sebagian besar anggota partai politik dan elite politik.

"Lalu terjadi kontestasi yang hitam putih seperti kemarin. Lalu mau ditarik pemilunya ke MPR? Yang salah siapa yang dihukum siapa. Itu solusi yang tidak tepat. Kita sudah pernah di masa lalu dan kita gagal," tutur Khairul.

Kemudian, ia melanjutkan, Garis Besar Haluan Negata (GBHN) juga tidak pada tempatnya lagi jika berbicara sistem presidensial. Penerapan konsep GBHN saat ini dalam kerangka isinya hanya tentang rencana pembangunan jangka panjang.

"Kalau GBHN hanya untuk merumuskan perencanaan nasional dengan DPD enggak apa-apa. Tapi jangan sampai berubah jadi alat memberhentikan presiden di tengah jalan. Karena itu bertentangan," imbuh dia.

photo
Warga memakai topeng bergambar peserta Pilpres 2019, Joko Widodo (kiri) dan Prabowo Subianto (kanan) saat aksi Rukun Agawe Santoso pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Solo, Jawa Tengah, Ahad (13/10/2019).

Berbeda dengan Khairul, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menilai, penyelenggaraan pilpres secara langsung perlu dievaluasi. Namun, wacana pemilihan presiden oleh MPR RI bukan satu-satunya jawaban atas berbagai permasalahan dari pilpres langsung.

Ia melanjutkan, apabila opsi pemilihan presiden oleh MPR pun muncul harus dibarengi naskah akademis yang berisi filosofis konteks, pengalaman empirik, dan bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk, kelemahan dan kekuatan dari masing-masing sistem baik pemilihan langsung oleh rakyat maupun MPR RI.

"Dua mekanisme desain pilpres itu mana yang ternyata lebih bermanfaat untuk Indonesia. Tidak hanya untuk pemberian masyarakat, tetapi juga untuk kemajuan Indonesia ke depan, sehingga Indonesia tidak didera kemunduran," ujar Siti kepada wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (28/11).

Siti menuturkan, harus diingat pula hal-hal yang menjadi latar belakang saat Indonesia memutuskan mengubah sistem pemilihan presiden dari MPR ke rakyat. Salah satunya MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak transparan dan akuntabel karena rezim otoriter yang didominasi penguasa.

Namun, lanjut Siti, kemudian dilihat saat ini apakah konflik-konflik yang dulunya terjadi bisa berkurang atau justru bertambah di era pilpres langsung. Hal itu juga bisa diketahui dari banyaknya sengketa pilpres, pemilihan legislatif (pileg), maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).

Sehingga, kata Siti, perlu dikaji pula apakah nilai-nilai substansi dari pemilihan oleh rakyat ini masih dapat terwujud hingga kini. Jangan sampai, demokrasi yang dijunjung tinggi selama 20 tahun terakhir hanya demokrasi prosedural tanpa nilai substansinya.

"Kenapa konflik terjadi bahkan di Pemilu 2019, apa yang salah ini. Jadi kayaknya demokrasinya tidak substantif, demokrasinya bertopeng, prosedural," kata Siti.

Di sisi lain, ia menekankan, pemilihan presiden oleh MPR juga perlu dikaji secara komprehensif. Sehingga, implementasinya nanti tidak mengancam nilai-nilai Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Konstitusi, dan Bhineka Tunggal Ika.

Sebab, dengan pemilihan presiden oleh MPR RI berarti tak bisa dihindarkan juga kepentingan elite-elite politik dan parpol. Menurut Siti, sebenarnya apapun sistem pemilihan presiden kuncinya ada di partai politik (parpol) yang berperan penting.

Oleh karena itu, parpol yang sehat harus hadir menegakkan demokrasi yang berkualitas, beradab, dan berintegritas. Termasuk penegakan hukum juga harus dibenahi.

"Mau tidak mau harus menghadirkan satu partai politik yang sehat, bukan dengan rakyatnya dikatakan tidak sehat, partainya harus menjadi role model," tutur Siti.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menjelaskan aspirasi kiai NU soal pemilihan presiden dan wakil presiden. Menurutnya, jika menimbang dan melihat mudharat dan manfaat pilpres langsung itu berbiaya tinggi. Terutama biaya sosial ada konflik yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam.

Said Aqil mencontohkan seperti kejadian sewaktu Pemilu Serentak 2019 lalu. "Keadaan kita ini mendidih, panas, sangat-sangat mengkhawatirkan. Apakah setiap lima tahun harus seperti itu," kata Said Aqil saat menerima silaturahim Ketua MPR Bambang Soesatyo, Rabu (28/11).

Said Aqil mengatakan, para kiai dan ulama saat Munas di Pondok Pesantren Kempek Cirebon pada 2012, berpikir mengusulkan pilpres kembali kepada MPR RI demi kuatnya solidaritas persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Namun,  Said Aqil menegaskan, bahwa itu hanya suara kiai dan para alim ulama dan bukan suara Pengurus Tanfiziah (Dewan Pelaksana) PBNU.

"Itu suara kiai-kiai, bukan tanfiziah. Kalau tanfiziah, namanya konferensi besar (Konbes) di bawah Muktamar. Di NU begitu," jelas Said Aqil.

photo
14 Capres 2024 Menurut LSI

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement