REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah untuk memperkuat fundamental ekonomi nasional dalam bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Salah satu poinnya adalah melakukan transformasi ekonomi di tengah defisit neraca perdagangan yang terus berlanjut hingga kini. Caranya dengan menekan impor dan menggerakkan produk ekspor.
"Defisit perdagangan kita harus segera kita selesaikan. (Selama ini) impor yang besar atas energi terutama migas. Ini menganggu," ujar Jokowi dalam sambutan Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, Kamis (28/11).
Jokowi memandang bahwa selama ini Indonesia masih gencar mengekspor barang mentah atau raw material seperti timah, nikel, bauksit dan batubara. Jokowi berkomitmen untuk mulai meningkatkan pengolahan mineral mentah sebelum akhirnya diekspor. Misalnya, gasifikasi batu bara dengan mengolahnya menjadi Dimethylether (DME) yang bisa mensubstitusi LPG.
"Kenapa tidak lama kita lakukan? Karena kita senang impor. Siapa yang impor? Ya orang-orang yang senang impor. Bapak ibu saya kira tahu semuanya. Ada yang senang impor dan tidak mau diganggu impornya. Baik untuk minyak atau elpiji, nah ini mau saya ganggu," kata Jokowi.
Contoh lain adalah CPO. Jokowi melihat bahwa seharusnya industri dalam negeri bisa lebih banyak menyerap CPO untuk diolah menjadi produk setengah jadi. Baru selanjutnya, jelas Jokowi, produk olahan CPO ini bisa diekspor ke pasar dunia.
"Kenapa tidak digunakan dalam negeri sehingga kita tak takut di-banned di Eropa. Mengapa? Kalau konsumsi di dalam negeri kita juga bisa kita lakukan dan bisa menyerap," kata Jokowi.
Jokowi juga menyampaikan komitmennya untuk mulai melarang ekspor mineral mentah. Pemerintah, ujar Jokowi, akan membangun sentra industri dalam negeri yang bisa mengolah mineral mentah yang ditambang dari dalam negeri.
"Nikel itu bisa turunannya bisa dibuat lithium baterai. Kenapa tak dikerjakan dari sekarang, seneng ekspor raw material. Endak. Kita gunakan sendiri di sini kita desain," katanya.