REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengajukan kasasi atas putusan bebas murni mantan direktur utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir. Dalam pokok memori upaya hukum biasa tersebut, jaksa penuntut umum KPK meminta hakim MA menganulir putusan bebas murni dari Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) dan menghukum Sofyan Basir karena terlibat dalam praktik korupsi dalam proyek pembangunan PLTU Riau-1 2015.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, memori kasasi sudah didaftarkan ke MA pada Kamis (28/11). “Memori kasasi sudah diantarkan melalui panitera PN Jakpus (Jakarta Pusat),” kata dia lewat pesan singkat, Kamis (28/11).
Pada intinya, kata Febri, JPU KPK menghendaki hakim MA menyatakan Sofyan Basir bersalah dan menjatuhkan pidana seperti dalam dakwaan. “KPK meyakini, seharusnya perbuatan perbantuan melakukan suap yang dilakukan Sofyan Basir dapat terpenuhi,” kata Febri.
Pada peradilan tingkat pertama, JPU KPK mendakwa Sofyan dengan Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15, kemudian Pasal 11 Undang-Undang 31/1999 perubahan UU 20/2001, jo Pasal 56 ke-2 KUH Pidana. KPK meminta majelis hakim menghukum Sofyan dengan penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta. Namun, dalam putusannya pada Senin (4/11), majelis hakim mufakat membebaskan Sofyan dari segala tuduhan.
Febri menerangkan, setelah menganalisis putusan hakim PN Tipikor, JPU KPK menemukan sedikitnya lima fakta dan sejumlah bukti dari persidangan yang dapat menyeret kembali Sofyan ke penjara. Analisis fakta dan bukti tersebut menjadi pokok utama memori kasasi ke MA kemarin.
Pertama, menyangkut keterangan terpidana utama kasus PLTU Riau, Eni Maulani Saragih, yang menyampaikan kepada Sofyan tentang amanah dari Setya Novanto untuk mengawal proyek PLTU Riau-1. Proyek tersebut akhirnya didapat oleh perusahaan Johanes Budistrisno Kotjo yang dalam persidangan lainnya terbukti memberikan suap kepada Eni.
Menurut Febri, JPU KPK juga menyertakan fakta persidangan Eni yang mengungkapkan adanya permintaan pertemuan Sofyan dengan Setya Novanto untuk membicarakan proyek PLTU 35 ribu watt di Pulau Jawa. Proyek tersebut juga menjadikan Johannes Kotjo sebagai pemenang tender. Dalam persidangan, Febri menerangkan, Eni mengungkap pesan Sofyan kepada Johannes Kotjo agar memperhatikan anak buahnya.
Pengakuan tersebut dibuktikan JPU dalam persidangan dengan pemaparan pesan Whatapp (WA) antara Eni dan Johannes Kotjo yang isinya tentang pesan dari Sofyan Basir. “SB: Anak2 saya di perhatikan jg ya biar mereka happy,” begitu isi pesan tersebut, seperti penjelasan Febri.
Bukti lain yang diajukan JPU KPK ke MA juga soal pengakuan Sofyan saat diperiksa sebagai saksi untuk Eni. Pengakuan itu ada dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Eni. Isinya adalah pengakuan Sofyan tentang peran Eni sebagai penghubung antara dirinya dan Johannes Kotjo dalam urusan proyek PLTU Riau-1.
Febri menjelaskan, pengakuan Sofyan dalam BAP untuk Eni tersebut sempat dicabut dalam persidangan. Namun, JPU KPK menolak pencabutan tersebut. Pasalnya, menurut KPK, pengakuan dalam BAP hanya dapat dicabut ketika pemberi keterangan mendapatkan intimidasi, tekanan, atau arahan saat pemeriksaan.
Kuasa hukum Sofyan Basir, Soesilo Ariwibowo, menyatakan siap kembali berlawanan dengan KPK di majelis MA. Menurut dia, merasa tak puas dengan keputusan bebas terdakwanya merupakan hak penuntut umum.
Karena itu, pihaknya akan menyiapkan memori tangkis untuk meyakinkan MA agar menguatkan putusan PN Tipikor atas Sofyan. “Kami sifatnya pasif saja, menunggu memori kasasi KPK. Kita akan segera tanggapi dalam kontra memori kasasi nanti,” kata Soesilo, kemarin. n bambang noroyonoed: ilham tirta