Jumat 29 Nov 2019 09:40 WIB

Pengamat: Perlu Ada Keterbukaan Akses ke Saldo Rekening

Keterbukaan akses ke saldo rekening dibutuhkan karena banyak nasabah tak patuh pajak

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Seorang nasabah menunjukkan saldo rekening di buku tabungannya. ilustrasi
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Seorang nasabah menunjukkan saldo rekening di buku tabungannya. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebutkan, kebijakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengakses saldo minimal Rp 1 miliar memang dibutuhkan. Hal ini mengingat sistem perpajakan Indonesia yang sudah lama tumpul dan mandul.

Yustinus mengatakan, kemandulan itu dikarenakan keterbatasan akses pemerintah terhadap data keuangan selama ini. Padahal, logika pemungutan pajak adalah profiling. "Artinya, mengetahui ‘siapa melakukan apa’ dan ‘siapa memiliki apa’," tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (29/11).

Baca Juga

Kebutuhan tersebut terlihat manfaatnya saat tax amnesty (TA). Hampir 80 persen harta deklarasi atau sekitar Rp 3.700 triliun berasal dari dalam negeri, dan 60 persen di antaranya adalah aset keuangan.

Dengan kata lain, Indonesia memang membutuhkan membangun sistem perpajakan yang memiliki akses luas (transparan) sekaligus menghasilkan tambahan penerimaan yang signifikan (akuntabel). Dalam negara demokratis, Yustinus menekankan, tidak ada kerahasiaan (secrecy) di hadapan otoritas pajak. "Sebab, akan mencederai rasa keadilan publik," katanya.

Alasan lain mengapa akses ini dibutuhkan adalah karena selama ini banyak masyarakat yang belum patuh pajak. Dampaknya, kerahasiaan justru menciptakan ketidakadilan bagi yang sudah patuh. Mereka akan terus dikejar karena sudah berada dalam sistem.

Oleh karena itu, Yustinus mengatakan, perluasan akses ini justru akan memberi keadilan sekaligus meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Hasil akhirnya, penerimaan ini untuk membiayai pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Kebijakan akses data ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.

Dalam regulasi itu, Yustinus menjelaskan, Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. "Mereka juga berwenang meminta informasi/bukti/keterangan dari lembaga jasa keuangan," ujarnya.

Ada dua poin yang diatur dalam beleid hukum. Pertama, tujuan internasional sebagai prasyarat dan komitmen Indonesia dalam inisiatif global tentang pertukaran informasi otomatis (AEOI).

Kedua, kewajiban Lembaga Jasa Keuangan (LJK) melaporkan informasi keuangan nasabah ke Ditjen Pajak, termasuk yang disimpan di LJK dalam negeri. Poin yang wajib dilaporkan adalah rekening milik orang pribadi dengan agregat saldo Rp 1 miliar (antarnegara ambang batasnya 250 ribu dolar AS), dan rekening milik entitas tanpa batasan saldo.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement