REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menerbikan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim sejak 13 November lalu. Anggota Komisi VIII dari Fraksi PPP DPR RI Iip Miftahul Choiri mendorong pemerintah mengkaji ulang peraturan tersebut agar tidak menimbulkan kecurigaan umat kepada pemerintah.
"PMA ini perlu dikaji ulang dengan berkonsultasi dengan MUI dan ormas-ormas Islam. Jangan sampai PMA kontraproduktif dan menimbulkan kecurigaan umat pada pemerintah," ujar Miftahul dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (29/11).
Dia mengatakan, berbagai pasal dalam PMA Majelis Taklim tersebut masih membutuhkan penjelasan dan sosialisasi yang efektif, terutama pasal 16 yang mengatur tentang materi yang diperbolehkan untuk disampaikan di majelis taklim. "Jangan sampai muncul anggapan pemerintah akan melakukan sensor terhadap semua materi yang disampaikan pak kiai, bu nyai, ustaz, atau ustazah yang kemudian menimbulkan ketegangan," ucap Miftahul.
Kemudian, pasal lain yang perlu mendapatkan perhatian besar dalam sosialisasi adalah pasal 18 dan pasal 19 tentang pembinaan yang menyebut Kemenag sebagai pembina dan majelis taklim perlu melaporkan kegiatannya kepada Kantor Kemenag setempat. "Lalu bagaimana status majelis taklim yang tidak melaporkan ke Kemenag?" katanya.
Berdasarkan hal itu, ia meminta pemerintah melakukan pendekatan kultural dan budaya dalam membina majelis taklim, tidak dengan pendekatan struktural dan instruktif. "Keberadaan dan independensi majelis taklim perlu dihargai dan dijunjung bersama. Jangan sampai munculnya PMA ini membelenggu kreativitas dan semangat majelis taklim dalam menjalankan tugas dakwah dan tarbiyahnya di tengah masyarakat," kata Miftahul.