REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Otoritas transisional Sudan menyetujui undang-undang (UU) guna merombak rezim mantan presiden Omar al-Bashir. Undang-undang tersebut termasuk pembubaran partai poltik dan penyitaan semua proertinya.
Hal tersebut juga sebagai tanggapan atas permintaan utama para pengunjuk rasa yang membuat pemerintahan al-Bashir mundur pada April lalu. Undang-undang tersebut disahkan dalam pertemuan bersama dewan dan kabinet berdaulat Sudan yang berlangsung beberapa jam, di mana badan itu juga membatalkan hukum yang mengatur pakaian dan perilaku perempuan.
Asosiasi Profesional Sudan (SPA) yang memelopori protes terhadap al-Bashir menyambut baik undang-undang tersebut. Pihaknya mengatakan undang-undang tersebut merupakan langkah penting dalam upaya membangun negara sipil yang demokratis.
Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok mengatakan undang-undang tersebut bukanlah tindakan balas dendam, melainkan lebih ditujukan untuk menjaga martanat rakyat Sudan. "Kami mengesahkan undang-undang ini dalam pertemuan bersama untuk menegakkan keadilan dan menghormati martabat rakyat dan melindungi manfaat dari rakyat dan agar kekayaan yang dirampas rakyat dapat dipulihkan," ujarnya seperti dikutip Aljazirah, Jumat (29/11).
Koresponden dari Aljazirah di Khartoum melaporkan undang-undang baru itu mewujudkan tuntutan rakyat Sudan. Menurut undang-undang baru, anggota partai lama al-Bashir dilarang mencari posisi elektif dalam 10 tahun ke depan.
"Ini penting, dan sampai taraf tertentu memenuhi tuntutan rakyat, yang telah melakukan protes selama beberapa bulan terakhir, menuntut perubahan dalam pemerintahan," kata dia.
Pemerintah Hamdok dibentuk pada September setelah kesepakatan pembagian kekuasaan antara kelompok anti al-Bashir dan Dewan Militer Transisi. Implementasi undang-undang tersebut akan menjadi ujian penting tentang seberapa jauh otoritas transisional mampu membalikkan kekuasaan al-Bashir.
Menteri Kehakiman Sudan Nasredeen Abdulbari mengatakan pemerintah telah mencabut undang-undang yang digunakan di bawah al-Bashir untuk mengatur pakaian dan perilaku perempuan serta menghukum siapa saja yang melanggar dengan cambuk.
Undang-undang itu dikerahkan untuk memberlakukan aturan sosial Islam konservatif, membatasi kebebasan perempuan untuk berpakaian, bergerak, berserikat, bekerja, dan belajar. Langkah itu telah banyak dikritik oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia lokal dan internasional.
Al-Bashir dan Partai Kongres Nasionalnya (NCP) telah memerintah negara Afrika timur laut itu sejak 30 Juni 1989. Gerakan protes nasional mengakibatkan dia digulingkan awal tahun ini. Protes meluas terhadap pemerintahan al-Bashir pada Desember 2018 dan dengan cepat berubah menjadi gerakan anti-rezim nasional yang akhirnya mengarah pada penggulingannya.
Tentara menggulingkannya pada 11 April dalam kudeta di istana. Pada Agustus sebuah dewan sipil dan militer bersama dibentuk untuk mengawasi transisi negara ke pemerintahan sipil seperti yang diminta oleh para pengunjuk rasa.
Al-Bashir ditahan di sebuah penjara di Khartoum untuk menghadapi persidangan atas tuduhan korupsi. Beberapa pejabat pemerintah dan anggota senior partai lainnya juga dipenjara.