Jumat 29 Nov 2019 19:06 WIB

Berbeda dengan NU, Muhammadiyah Tetap Ingin Pilpres Langsung

PP Muhammadiyah menilai, pilpres oleh MPR berpotensi menimbulkan kolusi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Umar Mukhtar, Rizkyan Adiyudha, Antara

Usulan atau wacana dari PBNU soal pemilihan presiden (pilpres) dikembalikan lagi kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menuai pro dan kontra beberapa hari ini. Sebagian yang kontra menilai usulan PBNU itu adalah sebuah kemunduran demokrasi, termasuk dari salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah.

Baca Juga

PP Muhammadiyah mengusulkan agar pemilihan presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.

"Untuk pemilihan presiden, Muhammadiyah mengusulkan tetap dipilih langsung oleh rakyat. Dan masa jabatan presiden tetap dua periode masing-masing selama lima tahun," tutur dia kepada Republika.co.id, Jumat (29/11).

Mu'ti mengungkapkan, pilpres oleh MPR berpotensi menimbulkan kolusi, meski dia mengakui bahwa secara biaya memang murah dan lebih efisien. Namun, pemilihan melalui MPR itu bisa menjadi awal kemunduran demokrasi bila melihat kultur dan sistem kepartaian seperti saat ini.

"Sedangkan masa jabatan tujuh atau delapan tahun selama lebih dari dua periode berpotensi menghidupkan kembali otoritarianisme," ungkapnya.

Muhammadiyah, lanjut Mu'ti, mengusulkan amandemen terbatas hanya untuk dua hal. Pertama, soal pentingnya Indonesia memiliki seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dengan penamaan yang bisa apa saja. Kedua, yaitu komposisi keanggotaan MPR. Muhammadiyah menilai perlu ada utusan golongan di MPR.

"Sehingga elemen masyarakat yang tidak diwakili oleh partai dapat punya wakil. Dengan komposisi itu perlu ada anggota MPR yang diangkat dari unsur utusan golongan," ucapnya.

Wacana pengembalian pilpres kepada MPR, terungkap seusai acara silaturahim kebangsaan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (27/11). Bamsoet mengungkapkan, PBNU mendorong MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, salah satu implementasinya adalah presiden kembali dipilih oleh MPR.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menjelaskan aspirasi kiai NU soal pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang dimaksud Bamsoet. Jika menimbang dan melihat mudharat dan manfaat pilpres langsung, kata Said Aqil, jelas terlihat pilpres langsung berbiaya tinggi.

"Terutama biaya sosial ada konflik yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam," ujar Said.

Said Aqil mencontohkan seperti kejadian sewaktu Pemilu Serentak 2019 lalu. "Keadaan kita ini mendidih, panas, sangat-sangat mengkhawatirkan. Apakah setiap lima tahun harus seperti itu," ujar Said Aqil.

Said mengatakan, para kiai dan ulama saat Munas di Pondok Pesantren Kempek Cirebon pada 2012, berpikir mengusulkan pilpres kembali kepada MPR RI demi kuatnya solidaritas persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Namun, Said Aqil menegaskan, bahwa itu hanya suara kiai dan para alim ulama dan bukan suara Pengurus Tanfiziah (Dewan Pelaksana) PBNU.

"Itu suara kiai-kiai, bukan tanfiziah. Kalau tanfiziah, namanya konferensi besar (Konbes) di bawah Muktamar. Di NU begitu," kata Said Aqil.

Said Aqil mengatakan, hasil Munas di masa pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono itu diikuti para ulama besar NU. Salah satu yang hadir adalah Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sejak 1999 hingga 2014, KH Sahal Mahfudz, ikut acara sebelum wafat pada 25 Januari 2014.

Opini LIPI

Pengamat politik LIPI, Syamsudin Haris menyebut pilpres oleh MPR artinya akan membawa Indonesia kembali ke masa 20 tahun lalu. Dia mengatakan, kebijakan tersebut akan membawa kemunduran bagi negara dan sama saja dengan menghidupkan kembali orde baru.

"Dan itu kan dulu yang sudah kita tolak. Kalau seperti itu sudah pasti ini kemunduran bagi demokrasi," kata Syamsudin Haris di Jakarta, Jumat (29/11).

Syamsudin membantah adanya perpecahan di tengah yang disebabkan pemilihan kepala negara langsung oleh masyarakat. Dia mengatakan, pembelahan terjadi akibat tingginya ambang batas presiden dan wakil presiden. Hal tersebut, dia mengatakan, membatasi pilihan publik menjadi dua kutub.

"Kalau begitu ya jelaslah. Kalau itu (ambang batas presiden) ditiadakan maka enggak akan ada masalah," katanya.

Terkait tingginya biaya politik dalam demokrasi, dia mewajarkan hal tersebut. Menurutnya, proses demokrasi memang sudah pasti memakan biaya tinggi. Dia menegaskan, tidak ada demokrasi yang murah di belahan dunia manapun yang menganut paham tersebut.

Dia menyebut konyol jika tingginya biaya politik dijadikan alasan dasar bagi semua pihak untuk kemudian mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR. Dia mengatakan, biaya politik murah hanya ada dalam negara yang menganut sistem otoritarian.

"Yang murah itu otoriter, pejabat ditunjuk dan dingkat dan itu sudah kita tolak 20 tahun lalu," kata Syamsudin lagi.

photo
14 Capres 2024 Menurut LSI

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement