REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melihat gerakan kemerdekaan Papua tidak bisa sebagai sebuah gerakan tunggal. Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia, Pradono Budi Saputro mengatakan, ada kelompok yang berkampanye di luar negeri dengan pendekatan diplomasi, ada pula yang bergerak di dalam negeri dengan pendekatan senjata dan kekerasan.
“ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) pimpinan Benny Wenda itu aktif di dunia internasional. Sedangkan di dalam negeri ada OPM yang mengedepankan kekerasan,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Jumat (29/11).
Menurut Pradono, jamaknya faksi dan beragamnya cara yang mereka lakukan untuk memerdekakan wilayah Papua, sebenarnya bukan baru kali ini terungkap. Tahun 2015 lalu, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya, 'The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement' menyatakan, di internal Organisasi Papua Merdeka (OPM) sudah pecah sejak awal terbentuknya pada 1971 silam.
Dua orang pendiri OPM, Jacob Prai dan Seth Roemkorem terpecah menjadi OPM Mavic (Markas Victoria) dan OPM Pemka (Pemulihan Keadilan). Dengan adanya friksi demikian, bukan tidak mungkin justru jatuh korban dari masyarakat sipil Papua itu sendiri.
“Di Wamena ada indikasi kelompok separatis lepas tangan (tidak mengaku) sebagai dalang. Mereka hanya berusaha melindungi diri dari tuduhan rasisme mengingat korbannya tidak hanya pendatang tapi juga etnis Papua,” kata Pradono.
Mantan kepala Bais TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman Ponto berpendapat, gerakan Papua merdeka bukanlah organisasi yang terstruktur rapi. “Mereka hanya kriminal bersenjata (KKB),” kata Soleman. Oleh karena itu, dia menilai, cara pemerintah mengatasi KKB Gerakan Papua Merdeka adalah dengan mengerahkan aparat penegak hukum, yaitu Polri. “Bukan TNI yang diturunkan, karena mereka hanya kriminal,” ujarnya.
Berangkat dari banyaknya faksi dalam gerakan kemerdekaan Papua yang cenderung kriminal itu, Soleman menegaskan, konsekuensinya adalah menambah jumlah anggota polisi di sana. “Itu untuk memberantas banyaknya pengganggu keamanan di Papua,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah mau berdialog dengan sabar, mendengar permintaan faksi-faksi tersebut, serta memberi penjelasan bagi yang mau berdialog.