Sabtu 30 Nov 2019 11:49 WIB

Tokoh Muda: Marginalisasi Jadi Akar Masalah di Papua

Warga Papua merasa termarginalisasi di tanah sendiri karena kehadiran pendatang

Rep: Mabruroh/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Presiden Joko Widodo menerima noken pemberian anak-anak perwakilan siswa SD di Jayapura dan Asmat, Papua, di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo menerima noken pemberian anak-anak perwakilan siswa SD di Jayapura dan Asmat, Papua, di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Pemuda Papua, Habelino Sawaki menilai akar masalah Papua adalah marginalisasi. Selama akar masalah tersebut belum tersentuh dan terobati, maka masyarakat Papua akan terus melawan dan menuntut merdeka.

“Kenapa orang Papua meminta merdeka? kenapa ada OPM? menurut saya orang Papua ingin merdeka karena termarjinalkan di atas tanah leluhurnya sendiri,” kata Habelino usai Diskusi di Universitas Satya Negara Indonesia (UNSI), Kebayoran, Jakarta Selatan, Jumat (29/11).

Ia melanjutkan, selain termarginalkan di tanah leluhurnya, masyarakat Papua juga tersisihkan dari NKRI. Baik secara ekonomi maupun politik, seolah tidak akan ada keadilan bagi warga asli Papua.

“Mereka menuntut kemerdekaan, OPM, mahasiswa yang demonstrasi, Pak Benny Wenda di internasional Oxford, itu semua lahir karena merasa tidak adil,” ungkap dia.

Di era pemerintahan Joko Widodo, pembangunan infrastuktur mulai menyentuh bumi Papua. Namun anehnya, masyarakat Papua tetap saja menuntut memisahkan diri dari Indonesia.

Artinya dalam sudut pandang Habelino, ada yang salah dan belum pas, upaya pemerintah dalam menyelesaikan masalah Papua. Padahal sejatinya tambah Hebalino, masyarakat Papua sangat simpel, yakni cukup didengarkan pendapatnya.

"Orang Papua itu sebenarnya orang yang simpel, saat dia ribut kita diam - dengar, lalu panggil dia bicara baik-baik, bahkan tanpa ada solusi, bicara baik-baik," kata dia.

Ia menyebut bukan berarti aparat tidak boleh melakukan penjagaan atau pengamanan.  Hal tersebu menurutnya tidak jadi masalah, namun selama dalam batas wajar.

Masih menurut Habelino, efek dari marginalisasi yang bertahun-tahun ini, bahkan dalam legislatif kemarin, hampir di seluruh kabupaten yang sudah terbuka, hanya tiga orang warga asli Papua yang menjadi anggota dewan. Sedangkan 27 anggoga dewan lainnya adalah para pendatang.

Artinya jelas Habelino, tidak cukup pembangunan infrastruktur namun tidak di barengi dengan sumberdaya manusianya. Karena yang akan menikmati jalan baru di papua adalah para pendatang bukan penduduk asli Papua.

"Negara jangan pikir bangun gedungnya dulu, bangun jalannya dulu, (tapi) bangun manusianya. Kalau SDM tidak disiapkan, jembatan, jalan yang dibangun yang menikmati nanti bukan orang Papua, lagi-lagi marginalisasi terjadi," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement