REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Juanda menilai usul jabatan presiden tiga periode kurang tepat. Ia menyatakan, usulan jabatan presiden tiga periode seolah bermain-main dalam mengurus negara.
"Saya kira ini kita bermain-main dalam mengurus negara," kata kata Juanda dalam diskusi bertajuk "Membaca Arah Amandemen UUD 1945" di Gondangdia, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11).
Meskipun wacana jabatan persiden masih bersifat usulan. Namun, ia menjelaskan, jika jabatan presiden menjadi tiga periode artinya Presiden sebelumnya yang telah menjabat dua periode seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) termasuk Presiden Joko Widodo dapat kembali mencalonkan diri.
Ia menyatakan usulan tersebut terkesan memiliki tendensi politik. Ketimbang dua periode, ia berpendapat, lebih baik masa jabatan diperpanjang."Saya kira bisa saja tujuh tahun atau delapan tahun satu periode misalnya. Kalo memang bisa, tidak usah lah otak-atik masalah jabatan, tetap 2 periode tinggal mengatur dan memanage hal-hal yang kurang tepat," jelasnya.
Sebelumnya, wacana penambahan masa jabatan maksimal presiden menjadi tiga periode atau total 15 tahun disampaikan oleh Wakil Ketua MPR Arsul Sani. Menurut Arsul, usulan ini muncul bersamaan dengan wacana amandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945.
"Kalau dulu [ketentuannya] 'dapat dipilih kembali' itu kan maknanya dua kali juga sebelum ini. Tapi kan terus-terusan. Kalau [wacana] ini kan hanya dapat dipilih satu kali masa jabatan lagi. Kemudian ada yang diusulkan menjadi tiga kali. Ya itu kan baru sebuah wacana ya," kata Arsul di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11).