REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Fachrul Razi mendorong lulusan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) untuk menghidupkan Alquran dalam Kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Hal ini disampaikan Menag dalam orasi ilmiahnya pada Wisuda Institut PTIQ Tahun 2019, di Jakarta Convention Center, Jakarta.
“Yang terpenting adalah bagaimana Alquran itu dapat benar-benar hidup dalam diri muslim Indonesia? Sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang damai, unggul, dan beradab,” ujar Menag, berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (30/11).
Di hadapan wisudawan S1, S2, dan S3 Institut PTIQ, Menag menuturkan untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa strategi yang bisa dilakukan. Dalam orasi ilmiah bertajuk “Kedamaian Qurani: Nurani Rakyat untuk Mewujudkan Keunggulan Peradaban Bangsa” ini, Menag menguraikan tiga strategi yang bisa dilakukan untuk menghidupkan Alquran dalam kehidupan muslim Indonesia.
Pertama, menurut Menag, tiap muslim perlu memahami Alquran secara utuh. Hal ini menuntut peran para sarjana quran untuk dapat menghadirkan pemahaman yang utuh tersebut dalam masyarakat.
Ia menambahkan, dalam Alquran ada makna teks dan konteks. Semuanya harus dipahami dengan baik agar tidak terjadi pada ekstrimitas. “Pemahaman terhadap Alquran secara tekstual itu penting, tapi jika hanya berhenti pada makna tekstual maka akan melahirkan pemahaman keagamaan yang kaku dan dan rigid,” urai Menag.
Ia menyatakan fatwa-fatwa keagamaan yang ekstrim biasanya lahir dari cara pandang tekstualis literalis dengan mengabaikan pesan substantif Alquran.
Strategi kedua yang dapat dilakukan adalah dengan memahami dan mengamalkan Al-Quran secara moderat. “Moderatisme adalah karakter utama agama Islam ajaran Islam diterima oleh masyarakat dunia, termasuk masyarakat nusantara,” kata Menag.
Bahkan menurut Menag, Islam melalui ayat-ayat Alquran selalu mengajarkan pentingnya keseimbangan, antara dunia dan akhirat, antara rasional dan spiritualitas, dan antara fisik serta metafisik. “Condong terhadap salah satu, akan menjadikan seseorang tidak moderat. Di sinilah dibutuhkan bandul keseimbangan untuk menjaga moderasi Islam tersebut ada di tangan para pengkaji Al-Quran,” kata Menag.
“Maka, jika ajaran moderasi ini berhasil diaplikasikan oleh para pengkaji Al-Quran, insyaallah masyarakat awam lainnya akan mengikutinya. Dan bangsa ini akan menjadi bangsa yang unggul dan beradab,” tutur Menag.
Strategi ketiga untuk membukukan Al-Quran menurut Menag adalah dengan mendialogkan teks Alquran dengan realitas kehidupan. Alquran menurut Menag, tidak turun dalam ruang kosong. Ia hadir sebagai respon terhadap realitas yang terjadi pada 15 abad silam. Ia adalah solusi atas problem etika.
“Zaman sekarang itu mengamalkan Alquran tak cukup dirapal dan dihafal lebih dari itu Alquran harus didialogkan dan diejawantahkan dalam realitas kehidupan,” tandas Menag Fachrul.
Sebelumnya, Rektor Institut PTIQ Nasaruddin Umar menyampaikan, bahwa wisuda yang dilakukan adalah untuk meneguhkan salah satu misi Institut PTIQ Jakarta. Lulusan PTIQ dengan berbagai profesi harus memiliki landasan kuat pada pengamalan Alquran.
“Sehingga wisudawan Institut PTIQ adalah pemegang estafet kepemimpinan para nabi dan rasul yang memimpin masyarakat dalam menunaikan tugasnya sebagai khalifah di bumi dengan mendasarkan semua kegiatan pada Alquran dan as-sunnah,” pesan Nasaruddin. Pada Wisuda 2019 ini, tercatat ada 486 wisudawan yang berasal dari 10 program studi, mulai dari jenjang S1 hingga S3.