Senin 02 Dec 2019 00:30 WIB

Soal Perppu KPK, Pukat UGM Ingatkan Janji Politik Jokowi

Pukat UGM menilai salah satu janji Jokowi adalah memperkuat KPK.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril.
Foto: Republika
Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril.

REPUBLIKA.CO.ID, JbAKARTA -- Keputusan Presiden Joko Widodo tak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai kritik.

Direktur Pusat Kajian Anti-korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Oce Madril mengatakan penolakan menerbitkan Perppu KPK membuktikan jelas watak kebijakan politik Presiden Jokowi yang tidak memihak KPK dalam pemberantasan korupsi.

Baca Juga

Oce mengingatkan, salah satu janji politik Jokowi saat kampanye Pilpres 2019, adalah agenda memperkuat dan mempertajam KPK. Tetapi, faktanya saat ini, janji tersebut diingkari.

“Jadi ini (penolakan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK), menunjukkan memang janji politik Jokowi untuk memperkuat KPK hanya omong kosong,” tegas Oce saat dihubungi, Ahad (1/12).

Bahkan Oce menerangkan pengingkaran janji politik tersebut terjadi dua kali.

Pengingkaran pertama atas janji saat kampanye Pilpres 2019. Kedua, kata Oce, janji untuk mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK saat desakan masif aktivis dan mahasiswa atas keberlakuan UU KPK 19/2019 terjadi hampir di seluruh Indonesia pada September 2019.

“Menurut saya, memang sikap presiden ini semakin jelas, bahwa dia tidak memiliki keseriusan untuk pemberantasan korupsi, dan untuk memperkuat KPK,” sambung Oce.

Menurut Oce, menengok sikap Presiden Jokowi tersebut, ia pesimistis pemberantasan korupsi dalam lima tahun mendatang akan semakin membaik. Sebaliknya, Oce memprediksi pemberantasan korupsi mendatang, semakin mengkhawatirkan.

Karena menurut dia, dengan penolakan penerbitan Perppu KPK, otomatis UU KPK 19/2019 akan menjadi basis hukum KPK dalam pemberantasan korupsi. Sementara, UU 19/2019 itu sendiri, berisikan pasal-pasal bermasalah bahkan melemahkan, dan menghambat kinerja KPK.

Oce mencontohkan pasal-pasal terkait penyelidikan dan penyidikan yang membutuhkan birokrasi lebih panjang sampai kepada penuntutan. Pun itu, kata dia, dibatasi dengan waktu dua tahun agar tak dilepas lewat mekanisme penghentian perkara.

Padahal, suatu penyidikan perkara korupsi, membutuhkan waktu yang lebih panjang, untuk penyidikannya agar sampai ke persidangan. Belum lagi kata Oce, adanya struktur baru Dewan Pengawas (Dewas) yang memiliki kewenangan melebihi lima komisioner. Juga, menyangkut tentang independensi KPK itu sendiri.

Oce mengingatkan Presiden Jokowi, akan tanggungjawab memenuhi janji politiknya dalam pemberantasan korupsi, dan menanggung risiko dari kendala pemberantasan korupsi yang akan terjadi di masa-masa mendatang atas berlakunya UU KPK 19/2019.

Adapun terkait judical review UU KPK 19/2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Oce melihat sebetulnya itu tak ada hubungannya  dengan Perppu KPK. Karena, kata Oce, persoalan di MK, adalah hak warga negara untuk menguji undang-undang atas konstitusional.

Sedangkan Perppu KPK yang diharapkan oleh masyarakat, menurut Oce merupakan hak preogratif presiden untuk menunjukkan keberpihakannya terhadap suatu produk hukum yang dianggap cacat. “Ini kan UU KPK itu bermasalah melemahkan KPK. Yang kita minta ada keberpihakan Presiden Jokowi terhadap KPK, untuk menyelamatkan KPK itu sendiri sesuai dengan janjinya untuk memperkuat KPK,” ujar Oce.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement