REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana untuk memberikan kelonggaran skema kontrak bagi hasil migas. Pengamat migas Yusak Setiawan menilai pilihan skema kontrak ini tak lebih penting daripada kepastian hukum dari pemerintah.
Ia menjelaskan meski ada dua skema baik gross split maupun cost recovery, bagi investor adalah kepastian hukum dan iklim investasi yang baik. Ia menjelaskan pada akhirnya, setiap penanam modal akan kembali pada kenyataan yakni aturan main ditentukan oleh pemerintah Indonesia selaku wakil dari negara dalam mengelola sumber daya alam.
"Selama perhitungan keekonomian dari blok migas yang ditawarkan masuk akal, artinya penanam modal bisa mendapatkan keuntungan, mereka tidaklah terlalu peduli dengan kontrak bagi hasil mana pun. Yang lebih dikuatirkan oleh penanam modal adalah kepastian hukum dari suatu kontrak tersebut," kata Yusak, Senin (2/12).
Yusak menuturkan ide untuk menerapkan konsep gross split lantaran penghasilan dari sektor migas yang terus menurun, sebaliknya biaya pengembalian atau cost recovery terus meningkat. Sedangkan cost recovery merupakan pengembalian biaya operasi dalam bisnis hulu migas yang telah di keluarkan oleh penanam modal sebelum minyak dan gas itu ditemukan dan bisa diproduksi secara komersial.
Menurut dia, jika tidak di temukan minyak dan gas bumi yang dapat di produksi secara komersial, maka cost recovery tidak bisa dituntut oleh penanam modal, artinya mereka akan merugi.
"Kerugian ini murni ditanggung oleh pihak penanam modal dan tidak bisa dikembalikan (cost recovery)," ujarnya.
Kepastian hukum kontrak bagi hasil menjadi perhatian utama pelaku usaha migas. Pasalnya saat ini payung hukum berupa Undang-Undang Migas tak kunjung rampung.