REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) mengatakan rendahnya tata kelola dan kapasitas kelembagaan menjadi salah satu sebab belum tercapainya target akses air minum.
"Pertama, rendahnya tata kelola dan kapasitas kelembagaan penyediaan layanan," kata Menteri PPPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam sambutannya di Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) 2019 yang digelar di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Senin (2/12).
Ia mengatakan tata kelola dan kapasitas kelembagaan dalam penyediaan air minum masih rendah terlihat dari masih banyaknya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang tidak sehat. Demikian juga dengan institusi pelayanan air limbah domestik.
Kebutuhan pendanaan yang relatif besar untuk memenuhi target akses sanitasi dan air minum juga masih menghambat pencapaian target. Ia mengatakan pemerintah diperkirakan memerlukan dana hingga Rp 404 triliun untuk memenuhi target akses sanitasi dan air minum hingga 2024.
"Hal ini menjadi tantangan untuk menciptakan skema pendanaan yang inovatif, efektif dan efisien, termasuk mengoptimalkan sumber-sumber pendanaan yang ada," katanya.
Ia juga mengatakan pembangunan infrastruktur belum direncanakan dengan baik. Pembangunan infrastruktur sanitasi dan air minum sering kali tidak sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.
Selain itu, kesadaran masyarakat dan berbagai pihak tentang pentingnya layanan sanitasi dan air minum yang baik serta perilaku hidup bersih dan sehat juga masih kurang. Oleh karena itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 pemerintah akan fokus meningkatkan target akses sanitasi dan air minum yang aman dan berkelanjutan, yaitu sekitar 90 persen akses sanitasi layak. Termasuk di dalamnya adalah akses aman sebesar 20 persen dan penurunan praktik buang air besar sembarangan (BABS) sampai nol persen.