REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat menolak kembalinya sistem pemilihan presiden dan wakil presiden lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Begitu pula, pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Hinca Pandjaitan menegaskan, mengembalikan proses regenerasi kepemimpinan ke ranah parlemen pusat dan daerah adalah kemunduran berdemokrasi. Dia mengatakan pemilihan umum di tangan rakyat adalah pemenuhan atas kedaulatan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara.
“Berdasarkan itu, Partai Demokrat menolak pemilihan presiden oleh MPR. Menolak pemilihan kepala daerah, baik gubernur, bupati dan walikota, secara tidak langsung atau dipilih oleh DPRD,” tegas Hinca dalam rilis resmi yang diterima Republika, di Jakarta, Senin (2/12).
Hinca menerangkan, dua penolakan tersebut menjadi keputusan resmi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat. Satu lagi penolakan resmi Partai Demokrat, yaitu menyangkut rencana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga kali.
“Menolak perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode,” kata Hinca.
Hinca menerangkan, DPP Partai Demokrat punya alasan kuat menolak tiga wacana konstitusional yang perkembangan belakangan. Ia menerangkan, penolakan pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR dikuatkan dengan alasan konsensus bangsa Indonesia yang mengharuskan regenerasi kepemimpinan nasional berlangsung dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat.
“Pemilihan presiden oleh MPR, jelas merupakan kemunduran demokrasi dan melukai serta menyakiti rakyat,” kata Hinca.
Rakyat sebagai pemilik tunggal kedaulatan, mengharuskan negara memberikan jaminan hak untuk memilih pemimpinnya secara langsung lewat pemilihan umum. Kedua, kata Hinca dasar pikir serupa juga terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Dia mengatakan, masyarakat di daerah jelas memiliki hak yang sama untuk memastikan pemimpin daerah sesuai dengan pilihannya dengan cara langsung dalam Pilkada. Karena itu, kata dia, DPP Demokrat pun akan menolak keras setiap wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah yang selama ini digelar langsung oleh rakyat, kembali ke ranah legislator lokal.
“Masyarakat di daerah juga memiliki hak untuk memilih secara langsung pemimpin di daerahnya untuk menentukan dan merencanakan masa depan daerahnya,” sambung Hinca.
Terakhir, kata anggota Komisi III DPR RI itu, soal perpanjangan masa jabatan presiden yang diwacanakan bertambah menjadi tiga periode. Menurut Hinca, penambahan masa jabatan tersebut rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat eksekutif.
Menurut dia, UUD 1945 yang mengatur masa jabatan maksimal seorang presiden selama dua periode, atau lima tahun setiap periodeisasinya sudah cukup untuk memberikan jaminan demokrasi dan regenerasi kepemimpinan. “Contoh ini juga terjadi di banyak negara demokrasi lainnya di dunia. Kekuasaan presiden yang terlalu lama di tangan seseorang akan cenderung abuse of power,” kata Hinca.
Wacana jabatan presiden menjadi tiga periode menguat sepekan terakhir seturut dengan polemik perubahan ke-5 UUD 1945. Ada tiga isu utama yang mengencang terkait amandemen konstitusi tersebut.
Selain menambah satu periode, yakni masa jabatan presiden dari dua, menjadi tiga kali, menyangkut sistem pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) kembali ke cara orde baru, yaitu lewat pemungutan suara di MPR RI. MPR adalah kamar gabungan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Pilpres lewat MPR tersebut otomatis mumunculkan wacana tambahan yang mengembalikan MPR, sebagai lembaga tertinggi negara di atas lembaga kepresidenan, DPR, dan DPD. Saat ini, lembaga-lembaga itu dalam posisi setara dalam sistem pembagian kekuasaan.