REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ribuan buruh berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (2/12). Mereka, menuntut Gubernur Jabar Ridwan Kamil menghapus poin 7 dalam surat keputusan (SK) UMK 2020 yang dinilai berpihak kepada pengusaha, bukan buruh.
Massa buruh yang berasal dari 18 serikat buruh di Jabar tersebut sebelumnya berkumpul di Monumen Perjuangan. Mereka, kemudian bergerak berjalan kaki dan menggunakan kendaraan masing-masing menuju Gedung Sate sekitar pukul 11.00 WIB.
Menurut Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar Roy Jinto Ferianto, awalnya aksi buruh ini untuk menuntut Gubernur Jabar Ridwan Kamil mencabut surat edaran UMK yang diterbitkan 21 November 2019. Namun, Ridwan Kamil akhirnya pada Ahad 1 Desember 2019 mencabut SE dan menggantikannya dengan Kepgub Jabar No. 561/Kep.983-Yanbangsos/2019 tentang UMK 2020.
“Kami apresiasi keberanian gubernur Jabar mengubah SE menjadi SK. Ini yang kita inginkan sejak awal. Karena SE tidak punya kekuatan hukum untuk dasar UMK 2020,” ujar Roy.
Namun, kata dia, masih ada salah satu poin dalam SK UMK 2020 yang membuat buruh kecewa. Buruh pun, mendesak gubernur Jabar untuk menghapus diktum ke-7 poin d yang di dalamnya menyebut penangguhan upah bisa melalui perundingan bipartit dan disahkan Disnaker Jabar. “Kami minta gubernur menghapus poin itu. Karena tidak berpihak kepada buruh,” kata Roy.
Roy menjelaskan, dalam undang-undang baik pasal 90 ayat 2 dan 3 Kepmen 31 penangguhan itu semuanya harus persetujuan Gubernur tidak boleh ada persetujuan lain. Jadi, diktum ke 7 itu perlakuan diskriminasi dari yang namanya SK tersebut. Yakni, dipisahkan antara buruh yang padat karya dan tidak padat karya. "Inilah yang membuat kita untuk meminta kepada Gubernur agar diktum huruf d ini dihapuskan dalam SK," katanya.
Dia menyebut hal ini akan berbahaya. Karena bagaimanapun ketika diberikan ruang kepada perusahaan untuk tidak melakukan penangguhan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka upah itu tidak akan naik. Karena, hal ini diserahkan bipartit pekerja dengan perusahanya secara langsung. "Dan ini bahaya karena disitu kalimatnya adalah termasuk perusahaan industri Padat Karya, berarti ada perusahaan lain yang diperbolehkan juga dalam hal itu," katanya.
Sehingga, kata dia, ini sangat ditolak buruh karena persoalan ini sebenarnya cukup dibahas di LKS tripartit Provinsi Jawa Barat, yang kebetulan Ketuanya Gubernur Jabar. "Tapi, nampaknya ini tidak dibahas dulu sehingga ini tergesa-gesa keluarnya. Sehingga redaksinya, mungkin ada yang meminta gitu mungkin ada yang meminta ini harus masuk tetapi ini bertentangan dengan undang-undang 13 tahun 2003 dan kepmen 231 tadi," paparnya.
Tuntutan kedua, kata dia, ia minta kepada gubernur karena ini nanti SK sudah keluar maka seperti tahun lalu, setelah UMK keluar seharusnya ada perundingan UMSK. "Ini kita minta gubernur Jabar dan kabupaten/kota untuk segera rundingkan UMSK masing-masing serta mendapat persetujuan gubernur," katanya.
Tuntutan ketiga, kata dia, adalah mengenai penolakan PP 78 itu yang sudah lama. Bahkan, setiap tahun buruh suarakan.
Orator lainnya, Ketua Aliansi Buruh Jabar Asep Sudrajat menegaskan aksi unjuk rasa kali ini juga menuntut Gubernur Jabar untuk mengeluarkan surat edaran untuk bupati/wali kota memfasilitasi perundingan UMSK 2020.
“Buruh tetap mogok untuk besok (3) sampai tanggal 6. Tapi mereka akan berjuang di daerahnya masing-masing memperjuangkan UMSK. Kita minta gubernur mengeluarkan surat edaran untuk memfasilitas perundingan UMSK,” paparnya.
Buruh mengisi aksinya dengan berorasi dan bernyanyi. Mereka, terus mengulang-ulang lagu "Entah apa yang merasukimu". Bahkan, walaupun sempat diguyur hujan mereka tetap bertahan.