REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) menilai penerapan regulasi Jaminan Produk Halal (JPH) di sektor farmasi memerlukan waktu yang tidak sebentar. Pasalnya, industri farmasi halal membutuhkan riset yang cukup panjang dan harus terarah dengan baik.
"Tidak mudah untuk dapat menghasilkan bahan baku obat-obatan maupun vaksin yang berkualitas di sisi kesehatannya dan juga halal dalam proses pembuatannya maupun bahan bakunya," kata Direktur Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) Afdhal Aliasar, Ahad (1/12).
Menurut Afdhal, industri farmasi halal di Indonesia sangat jauh tertinggal dalam hal riset. Kendati demikian, lanjut Afdhal, bukan tidak mungkin industri farmasi halal Indonesia dapat mengejar ketertinggalan tersebut.
Afdhal mengaku pihaknya sudah berkoordinasi dengan produsen vaksin besar di Indonesia dan kementerian terkait untuk membicarakan persiapan yang diperlukan dalam mengembangkan riset di industri farmasi halal. "Insya Allah ini akan bergulir, KNKS akan terus mendorong hal ini," tutur Afdhal.
Dengan koordinasi ini, Afdhal berharap, tahapan riset bahan farmasi ataupun vaksin halal yang diperkirakan membutuhkan lebih dari 10 tahun, bisa dipercepat menjadi sekitar 5 sampai 8 tahun. Untuk mencapai hal tersebut, menurut Afdhal, dibutuhkan kerja sama dengan lembaga penelitian dan universitas.
Afdhal menjelaskan, perihal riset farmasi halal ini sendiri sudah termasuk dalam prioritas Kementerian Ristek/Badan Riset Inovasi Nasional. Selain itu, riset farmasi halal juga sudah dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Afdhal melihat, pengembangan riset ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi pemimpin industri farmasi halal di dunia. "Tidak banyak pemain industri farmasi halal di dunia, jadi kalau Indonesia bisa mengawal pengembangannya bukan tidak mungkin Indonesia menjadi pemain industri farmasi halal yang dominan di dunia," kata Afdhal.