REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT - Pemerintah Israel telah menyetujui pembangunan permukiman baru di Kota Hebron, Tepi Barat. Pembangunan itu disebut akan menciptakan kesinambungan teritorial Yahudi antara lingkungan Avraham Avinu dan Masjid Ibrahimi.
Menurut Kementerian Pertahanan Israel, permukiman baru itu akan di bangun di dekat pasar lama Hebron. "Bangunan-bangunan pasar akan dihancurkan dan toko-toko baru akan dibangun sebagai gantinya,"katanya dalam sebuah pernyataan pada Ahad (1/12), dikutip laman Anadolu Agency.
Daerah pasar berada di kota tua Hebron dan dekat dengan Masjid Ibrahimi. Hebron dihuni sekitar 160 ribu warga Palestina dan 500 pemukim Yahudi. Warga Yahudi di sana tinggal di sebuah kantong khusus yang dijaga ketat pasukan Israel.
Pad awal tahun ini, Pemerintah Israel menolak memperpanjang mandat Temporary International Presence in Hebron (TIPH) yang telah beroperasi selama lebih dari 20 tahun. Menurut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, kelompok tersebut melakukan perlawanan terhadap Israel.
TIPH dibentuk berdasarkan adopsi resolusi Dewan Keamanan PBB 904 tahun 1997. Resolusi itu mengecam pembantaian tahun 1994. Kala itu ekstremis Israel Baruch Gold stein membantai jamaah yang tengah menunaikan shalat Subuh di Masjid Ibrahimi. Selain menewaskan 50 warga Palestina, serangan itu juga menyebabkan ratusan orang luka-luka.
Dengan resolusi tersebut, TIPH diterjunkan ke Hebron guna mengawasi dan mencatat pelanggaran yang dilakukan Israel di sana. Resolusi itu juga menyerukan Israel menyita senjata para pemukimnya guna mencegah mereka melakukan serangan lebih lanjut terhadap warga Palestina.
PBB telah menyerukan Israel menghentikan pembangunan permukiman ilegal di wilayah Palestina yang diduduki. Hal itu dianggap menyebabkan tak adanya perkembangan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak.
"Intensifikasi permukiman ilegal, penghancuran rumah-rumah warga Palestina, dan penderitaan yang meluas di Gaza harus dihentikan. Tindakan-tindakan ini mengancam merusak kelangsungan pendirian negara Palestina berdasarkan resolusi PBB yang relevan," ujar Kepala Staf Sekretaris Jenderal PBB Maria Luiza Ribiero Viotti pada 27 November lalu.
Menurut dia, tak ada perkembangan positif dalam perundingan damai antara Israel dan Palestina. Sebaliknya, proses tersebut kian memburuk. Viotti mendorong kedua negara untuk kembali terlibat dalam perundingan menuju solusi dua negara. "Adalah ilusi berbahaya untuk berpikir bahwa konflik dapat di kelola atau ditahan selamanya," ujarnya.
Perundingan damai antara Israel dan Palestina dinilai akan makin pelik. Hal itu terjadi karena AS telah mengambil keputusan tak lagi menganggap ilegal permukiman Israel di wilayah Palestina yang di duduki.
Padahal, pembangunan permukiman ilegal merupakan ganjalan terbesar dalam perundingan damai Palestina dengan Israel. Selain itu, pada Desember 2017 AS telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Palestina diketahui menghendaki Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depannya. Setelah pengakuan itu, Palestina memutuskan mundur dari perundingan damai dengan Israel yang dimediasi AS.
Palestina menganggap Washington tidak lagi menjadi mediator yang netral. Pasalnya, AS terbukti membela dan mengakomodasi kepentingan politik Israel.
Sikap Palestina
Palestina mengecam langkah Israel menyetujui rencana pembangunan permukiman baru di Hebron, Tepi Barat. Langkah tersebut dinilai melanggar hukum internasional dan resolusi PBB.
"Kepresidenan (Palestina) menegaskan bahwa pengumuman Israel ini merupakan hasil nyata pertama dari upaya pemerintahan (Presiden Amerika Serikat Donald) Trump untuk melegitimasi aktivitas permukiman, yang merupakan langkah awal untuk pencaplokan," kata kantor berita Palestina, WAFA, dalam laporannya pada Ahad (1/12).
Palestina menyatakan rencana Israel membangun permukiman baru di Hebron sebagai langkah provokatif. Palestina menyerukan masyarakat internasional segera bertindak merespons tindakan eskalasi Israel tersebut. (kamran dikarma, ed: yeyen rostiyani)