jatimnow.com - Shalfa Avrila Siani (17), atlet senam artistik proyeksi SEA Games 2019, asal Kediri, yang dipulangkan dari pelatnas karena isu tidak perawan akhirnya bertemu Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Dalam peretemuan di Gedung Negara Grahadi, Surabaya itu, Gubernur Khofifah berjanji akan menyiapkan pendampingan psikososial atau psychosocial therapy bagi Shalfa. Pendampingan tersebut dilakukan untuk mengatasi trauma psikologis yang dialami Shalfa.
"Pesan saya kepada Shalfa adalah menangkan hatimu, ini bagian dari terapi psikososial karena hukuman sosial itu berat. Cara menenangkan hati antara lain dengan banyak berdzikir. Saya juga sudah berkomunikasi dengan Ketua KONI Jatim bahwa di Puslatda juga ada pendampingan psikologi bagi atlet sehingga terapi psikososial ini penting dilakukan," kata Gubernur Khofifah, Senin (2/12/2019) sore.
Ia menawarkan kepada Shalfa di mana akan melanjutkan sekolah, dan atlet tersebut memilih Kota Kediri, tempat asalnya. "Saya sudah komunikasikan dengan Wali Kota Kediri dan katanya ada salah satu SMA negeri yang akan menerima kepindahan sekolah Shalfa. Apalagi SMA kewenangannya ada di bawah pemprov, ini tinggal menunggu proses administrasi saja," terangnya.
Terkait isu keperawanan yang menjadi penyebab dipulangkannya Shalfa, Gubernur Khofifah menegaskan bila alasan itu benar disampaikan oleh pelatih. Untuk itu, ia meminta pelatih tersebut untuk segera meminta maaf dan dilakukan pemanggilan khusus sampai dengan sanksi, agar hal itu tidak terulang dan tidak menjadi trauma bagi atlet junior.
"Kita berharap segala sesuatu berjalan kondusif dan produktif. Harkat dan martabat atlet dan pelatih harus dijaga. Maka kode etik atlet dan pelatih harus dievaluasi jika dirasakan kurang sesuai sehingga semua pihak memiliki standart untuk dijadikan pedoman," tambah Gubernur Khofifah.
Gubernur Khofifah meminta agar kode etik pelatih dapat ditegakkan. Sudah selayaknya dalam kode etik pelatih diatur bahwa pelatih selarasnya menghormati hak-hak dasar, martabat dan harga diri semua orang.
Pelatih harus, tegas Gubernur, harus menghormati hak-hak individu untuk privasi termasuk hal-hal yang sifatnya kerahasiaan. Begitu pula sebaliknya dengan atlet.
"Seharusnya kode etik, baik atlet atau pelatih dapat dilaksanakan dengan baik, khususnya untuk melindungi dan tidak menyinggung hal-hal yang menyangkut privasi keduanya," jelasnya.
Gubernur perempuan pertama di Jatim ini menegaskan seyogyanya yang menjadi ukuran adalah prestasi. Walaupun dalam proses pembinaan atlet ada pembinaan kedisiplinan dan karakter, tetapi indeks prestasi akan menjadi indikator utama ketika atlet masih ada di dalam pusat pelatihan.
"Maka di luar dari indikator prestasi yang kemudian mempengaruhi atau kemudian dijadikan dasar pertimbangan utama sampai kemudian mendegradasi atlet tersebut, itu sangat disayangkan. Namun bila memang karena prestasi, di mana tidak bisa mengikuti standar yang ada, maka hal itu harus diikuti. Karena hal itu menjadi kewenangan cabor atau persatuan olahraga bersangkutan," tegasnya.
Ia meminta agar kasus ini menjadi koreksi bahwa dalam dunia keolahragaan, masih harus dilakukan pembenahan-pembenahan. Supaya apa yang dijadikan pertimbangan utama dalam menilai sang atlet adalah prestasinya.
Sementara itu, terkait keputusan Shalfa akan tetap lanjut atau tidak di Puslatda PON mendatang, Gubernur Khofifah menyerahkan keputusannya pada sang atlet.