Selasa 03 Dec 2019 15:30 WIB

Resmi Banding, KPK Incar Tambahan Uang Pengganti Markus Nari

KPK menilai jumlah uang pengganti korupsi di vonis Markus Nari belum adil.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan korupsi KTP elektronik Markus Nari memberikan keterangan kepada wartawan usai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (4/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus dugaan korupsi KTP elektronik Markus Nari memberikan keterangan kepada wartawan usai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (4/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) terhadap terpidana korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el), Markus Nari. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, banding dilayangkan bukan terkait vonis penjaranya.

Perlawanan jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyangkut putusan pengadilan tingkat pertama tentang ganti rugi hasil korupsi yang dianggap belum adil. Febri menerangkan, putusan Majelis Hakim PN Tipikor hanya mengabulkan tuntutan uang pengganti terhadap Markus Nari, sebesar 400 ribu dolar AS.

Baca Juga

Adapun, tuntutan pengganti korupsi senilai 500 ribu dolar AS, tak dikabulkan hakim. Padahal, menurut JPU KPK, kata Febri, dua nilai pengganti tersebut, adalah besaran perolehan uang hasil korupsi yang Markus Nari terima dalam aksi korupsinya. Yaitu, senilai 900 ribu dolar AS atau setara RP 12 miliar.

“Pada prinsipnya, pertimbangan KPK mengajukan banding, agar uang hasil korupsi itu dapat dikembalikan ke masyarakat secara maksimal,” kata Febri, dalam rilis resmi KPK, Selasa (3/12).

Febri menambahkan, pengembalian uang hasil korupsi tersebut menjadi hak negara untuk ditagih kepada terpidana lewat mekanisme uang pengganti. “Tuntutan uang pengganti yang  dikabulkan (PN Tipikor) baru sebagian (400 ribu dolar). Sedangkan dugaan uang korupsi lainnya (500 ribu dolar), tidak diakomodir hakim,” terang Febri.

Pada 11 November 2019, Majelis Hakim PN Tipikor menjatuhkan vonis bersalah terhadap Markus Nari. Hakim menghukum Markus Nari dengan pidana penjara selama enam tahun dan denda senilai RP 300 juta. Hakim dalam putusannya waktu itu, juga memerintahkan Markus Nari untuk mengganti uang hasil korupsi senilai 400 ribu dolar AS.

Majelishakim membenarkan tudingan JPU KPK tentang uang tersebut sebagai pemberian dari Andi Nargogong yang transaksinya di lakukan di kawasan Senayan, Jakarta. Akan tetapi, Majelis Hakim PN Tipikor tak mengabulkan tuntutan JPU KPK tentang uang pengganti korupsi senilai 500 ribu dolar AS yang Markus Nari terima dari Andi Narogong saat berjumpa di ruang Fraksi Partai Golkar DPR RI.

Padahal  JPU KPK, kata Febri, mampu membuktikan pemberian uang tersebut. “Oleh karena itu, KPK mengajukan banding. Karena KPK meyakini, seharusnya terdakwa (Markus Nari) mengganti uang hasil korupsi sebesar 900 ribu dolar yang nantinya masuk ke kas negara,” kata Febri.

Sebelumnya, Markus Nari menuding Majelis Hakim PN Tipikor mengabaikan fakta persidangannya. Mantan anggota Komisi VII DPR RI dan Badan Anggaran itu menyebut, majelis hakim mengutip kesaksian yang salah terkait vonis bersalah untuknya.

Markus menegaskan, dirinya tak pernah menerima uang sebesar 400 ribu dolar AS seperti penjelasan majelis hakim terkait proyek bernilai triliunan rupiah yang berkasus tersebut. “Ini tanda tanya bagi saya. Saya tidak pernah menerima (uang 400 ribu dolar AS),” kata Markus Nari usai persidangan putusan untuknya, di PN Tipikor Jakarta, Senin (11/11).

Selain itu, Markus Nari juga menolak pertimbangan putusan majelis hakim yang membenarkan jaksa KPK terkait dakwaan kedua, menghalangi pemeriksaan terhadap Miryam Hariyani. Sebab, Markus Nari meyakini, pada saat memberikan kesaksian untuknya, Miryam Haryani mengaku tak merasa dilindungi olehnya.

“Jelas-jelas yang bersangkutan, Miryam menyatakan, saya tidak pernah menghalang-halangi,” kata dia.

photo
Pihak yang Diuntungkan Proyek KTP-El

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement