REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pengusaha Tomy Winata (TW) menyebutkan, Bank China Construction Bank (CCB) Indonesia mendapatkan tekanan sebelum menjual hak tagih terhadap PT GWP kepadanya. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan yang dilakukan TW untuk membeli hak tagih dari Bank CCBI.
"CCB Indonesia mungkin punya pertimbangan-pertimbangan yang mana waktu itu mereka mendapatkan tekanan-tekanan yang merepotkan," ujar TW dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali, Selasa (3/12).
TW mengatakan, pihaknya pada akhirnya mengambil alih hak tagih terhadap PT GWP milik Bank CCB Indonesia karena tidak ingin masalah yang menimpa menjadi isu negatif di mata internasional. Menurutnya, Bank CCB merupakan salah satu bank terbesar di dunia.
Dengan hak tagih diambil alih olehnya, TW berharap persoalan yang ada dapat diselesaikan dengan baik oleh Harijanto Karjadi. Harijanto yang menjadi terdakwa dalam kasus ini TW akui sebagai kolega bisnisnya yang sudah menjalin hubungan sejak lama.
"Kami bawa itu menjadi masalah hukum Indonesia saja. Dengan harapan, komunikasi itu bisa terbangun dengan terdakwa agar barang ini selesai," kata TW.
Dalam perjalanannya, ia menyerahkan persoalan tersebut kepada kuasa hukum. Ternyata, setelah ditinjau lebih lanjut ditemukan dugaan adanya tindak pidana pemalsuan terhadap pengalihan jaminan yang sudah dijaminkan oleh terdakwa kepadanya selaku pemilik hak tagih.
"Barang yang sudah dijaminkan untuk suatu utang tidak boleh dialihkan tanpa izin pemberi utang. Jadi, kami ingin memberi tahu kepada seluruh stakeholder pelaku bisnis, Indoensia itu punya kepastian (hukum)," jelasnya.
Poin tersebut disanggah oleh terdakwa di penghujung persidangan. Menurut Herijanto, pihaknya tidak pernah menekan maupun melancarkan teror terhadap Bank CCB Indonesia. "Salah. Saya nggak ada menekan CCB. Tidak pernah neror saya," ungkap Herijanto.
Sebelumnya, hakim PN Denpasar, Bali, menolak semua eksepsi terdakwa Harijanto dalam sidang kasus penipuan dan pemalsuan akta otentik yang dilaporkan TW di Denpasar, Bali. "Menolak semua eksepsi Terdakwa dan lanjut sidang tanggal 3 Desember 2019 dengan agenda menghadirkan dua saksi" kata Ketua Majelis Hakim Sobandi, Rabu (27/11).
Sehari sebelumnya, Selasa (26/11) ketua JPU I Ketut Sujaya juga menolak semua eksepsi yang diajukan oleh bos Hotel Kuta Paradiso. Sidang kasus penipuan dan pemalsuan akta otentik yang dilaporkan TW terhadap bos Hotel Kuta Paradiso tersebut.
Hakim dan JPU menolak seluruh eksepsi yang diajukan oleh terdakwa. JPU beralasan bahwa surat dakwaan telah disusun secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dengan menyebutkan waktu, tempat tindak pidana itu dilakukan sesuai dengan pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP.
"Waktu dan tempat tindak pidana itu yakni Senin tanggal 4 November 2011 di Kantor Notaris I Gusti Ayu Nilawati dengan alamat di Jl Raya Kuta No 87," ujar Jaksa Sujaya.
JPU mendakwa Harijanto dengan dakwaan alternatif. Harijanto Karjadi selaku Direktur PT Geria Wijaya Prestige (GWP) diduga turut terlibat dan menyetujui pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham. Itu sehubungan dengan peristiwa pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi dalam RUPS tanggal 14 November 2011. Akibat peristiwa tersebut, Tomy Winata selaku korban yang juga pelapor, dirugikan lebih dari 20 juta dolar AS.
"Terdakwa melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan perbuatan, atau menyuruh memasukan keterangan palsu, ke dalam suatu akte outentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu. Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akte itu. Seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran,” kata jaksa.