Laporan terbaru Badan Amal Oxfam menyebut orang tiga kali lebih mungkin terusir dari tempat tinggalnya akibat bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim daripada konflik. Dimana tiap dua detik setidaknya satu orang mengungsi karena perubahan iklim.
Bencana terkait perubahan iklim:
- 20 juta orang mengungsi karena perubahan iklim setiap tahun, kata Oxfam
- Saukitoga mengatakan terlalu berbahaya bagi keluarganya untuk tinggal di rumahnya
- Menurut Oxfam, perubahan iklim saat ini memaksa lebih banyak orang keluar dari rumah mereka daripada perang atau konflik, kata Oxfam
Seorang warga Fiji, Kelepi Saukitoga tengah berencana pindah rumah. Dia tidak punya pilihan lain karena air laut semakin mendekati pintu rumahnya.
"Masalah di sini sekarang ini adalah kita menghadapi kenaikan permukaan laut," katanya kepada ABC melalui telepon.
"Rumahku adalah salah satu rumah yang telah terendam air laut." katanya lagi.
Rumahnya yang terletak di desa Narikoso, Pulau Ono di Fiji merupakan tanah kelahiran kakek neneknya. Penduduk desa Narikoso telah menanam bakau dan mencoba membangun tembok laut, tetapi pulau itu tetap tergenang air pasang.
Rumah Saukitoga berada di daerah yang sangat rawan dengan kenaikan air laut dan kondisi itu berbahaya bagi anak-anaknya, katanya. "Situasi ini mengesalkan tapi tidak ada pilihan lain [selain pindah]," katanya.
"Kami menanti dipindahkan karena kami tidak hanya peduli dengan nasib kami sekarang, tapi kami juga memikirkan anak-anak dan generasi masa depan."
Dua puluh juta mengungsi setiap tahun
Saukitoga hanyalah salah satu dari 20 juta orang yang terancam terusir dari tempat tinggal mereka setiap tahunnya karena perubahan iklim, demikian kesimpulan sebuah laporan oleh Oxfam.
Analisis Oxfam mengatakan penduduk dunia saat ini tiga kali lebih mungkin terusir dari rumah mereka oleh bencana yang dipicu oleh iklim daripada oleh konflik. Badan amal itu juga menyebut seseorang mengungsi dari tempat tinggalnya karena perubahan iklim setiap dua detik.
Angka-angka itu juga mencakup warga Australia yang kehilangan rumah karena peristiwa kebakaran hutan beberapa waktu terakhir.
Laporan berjudul ‘Terusir Paksa Dari Rumah’ memuat analisis Oxfam tentang data Pusat Pemantauan Pengungsian Internal yang dirilis saat KTT iklim PBB COP25 dimulai di Spanyol pada hari Senin (3/12/2019).
Laporan itu menyebut 80 persen dari mereka yang terlantar akibat perubahan iklim tinggal di Asia, khususnya Pasifik.
Fiji masuk dalam daftar 10 negara teratas di kawasan yang paling berisiko karena peristiwa cuaca ekstrem, bersama Tuvalu, Filipina, Vanuatu dan Tonga.
Sebuah pulau berpacu dengan waktu
Angka-angka itu juga mencakup warga Australia yang kehilangan rumah karena peristiwa kebakaran hutan beberapa waktu terakhir.
Makalah berjudul ‘Terusir Paksa Dari Rumah’ memuat analisis Oxfam tentang data Pusat Pemantauan Pengungsian Internal yang dirilis saat KTT iklim PBB COP25 dimulai di Spanyol pada hari Senin (3/12/2019).
Laporan itu menyebut delapan puluh persen dari mereka yang terlantar akibat perubahan iklim tinggal di Asia, khususnya Pasifik.
Fiji masuk dalam daftar 10 negara teratas di dunia di mana orang paling berisiko terusir dari tempat tingglnya karena peristiwa yang dipicu cuaca ekstrem, bersama Tuvalu, Filipina, Vanuatu dan Tonga.
"Ini adalah negara dan komunitas termiskin di dunia, yang memikul sedikit tanggung jawab untuk polusi karbon global, sebaliknya mereka menjadi warga yang menghadapi risiko tertinggi mengungsi karena bencana yang dipicu iklim," kata laporan Oxfam.
Di Tuvalu topan tropis telah menggusur 4,5 persen dari populasi di negara kepulauan itu, sementara di Fiji, Topan Winston pada tahun 2016 berdampak pada 350.000 orang, menghancurkan 24.000 rumah, dan membuat negara ini seperlima dari PDBnya dalam pendanaan respon bencana
Diterbitkan ulang dari artikel berbahasa Inggris di situs ABC disini.