REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam beberapa waktu belakangan, beredar wacana untuk merevisi masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau satu periode tujuh tahun. Menanggapi hal tersebut, pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai hal tersebut justru dapat merugikan citra Joko Widodo.
"Wacana penambahan masa jabatan presiden memalui amandemen konstitusi merupakan ide ngawur dan a-historis," ujar Pangi lewat keterangan tertulisnya, Rabu (4/12).
Menurutnya, kekuasaan itu harus dibatasi dan diawasi karena kekuasaan punya kecenderungan menyeleweng dan menyimpang. Pengawasan dan pembatasan adalah sesuatu yang wajib jika Indonesia tidak ingin masuk ke dalam rezim otoriter.
Tindakan Presiden Jokowi yang dengan tegas menolak hal tersebut merupakan hal yang tepat. Sebab, jika ia tidak segera mengeluarkan pernyataan resmi, hal tersebut justru akan semakin merugikan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
"Sikap politiknya yang secara terbuka menolak keras wacana penambahan masa jabatan presiden, bahkan amandemen kelima pun akan beliau tolak," ujar Pangi.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting mengimbau Jokowi untuk segera mengonsolidasi kekuatan politik di bawah koalisi pemerintahan. Jika tidak, sikap presiden akan cenderung dianggap tidak konsisten dan menyimpan motif tertentu.
"Kalau ide-ide ngawur semacam ini diabiarkan bising di panggung publik, tidak menutup kemungkinan amandemen konstitusi akan berjalan liar dan tidak terkendali," ujar Yandri.
Selain itu, ia mengimbau pihak-pihak terkait untuk segera memilah mana wacana yang akan masuk ke dalam amandemen konstitusi. Sebab jika tak segera dilakukan, wacana-wacana lain akan muncul dan kembali menimbulkan polemik di masyarakat.
"Kalau amandemen kelima lebih banyak mudaratnya, kita sepakat dengan Pak Jokowi, lebih baik jangan diteruskan wacana amandemen tersebut," ujar Pangi.