REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya menerima laporan puluhan anak di Kecamatan Mangunreja dan Salawu belum memiliki dokumen kependudukan. Padahal, dokumen kependudukan itu merupakan hak dasar anak.
Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto mengatakan terdapat setidaknya 33 anak yang saat ini ditampung Yayasan Tunas Kita dan Yayasan Hidayatul Muhtadiyin. Pihak yayasan melaporkan anak didik mereka masih ada yang hak sipilnya belum terpenuhi. Ia menduga, masih banyak anak yang belum memiliki dokumen kependudukan dan belum terdata.
"Jadi belum ada akta, NIK, KK sehingga menyulitkan akses bantuan pemerintah. Atas dasar itu mereka datang untuk bisa difasilitasi," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (4/12).
Ato mengatakan, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, hak sipil anak harus terpenuhi, termasuk akta kelahiran. Hal itu merupakan hak dasar anak. Dengan itu, mereka bisa mendapatkan fasilitas dari pemerintah.
Apalagi, ia menambahkan, syarat untuk masuk ke sekolah formal diperlukan juga identitas anak berupa akta kelahiran. Jika tak memiliki dokumen kependudukan, akibatnya anak tak bisa mengakses pendidikan formal. Bukan hanya untuk mengakses pendidikan formal, dokumen kependudukan juga diperlukan agar anak dapat merasakan bantuan pemerintah lainnya, seperti fasilitas kesehatan juga bantuan sosial.
Ia menanbahkan, KPAID sudah dua kali datang ke lokasi. Permasalahannya, anak-anak itu merupakan hasil dari pernikahan siri yang tidak tercatatkan secara resmi, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan akta kelahiran.
"Statusnya saat ini ada yang sekolah di yayasan. Tapi ada yang tidak sekolah. Nah yang tidak sekolah itu ngerinya terjebak dalam pergaulan yang tidak baik," kata dia.
Ke depan, KPAID akan meneruskan laporan yang diterimanya itu dan berkoordinasi dengan dinas terkait, seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) dan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Tasikmalaya. Ia berharap, masalah tersebut bisa segera dituntaskan agar anak dapat mendapatkan haknya dari negara.
Ketua Yayasan Tunas Kita, Tatang Sukani mengatakan, saat ini hanya bisa menampung anak-anak tersebut. Sementara mereka yang ingin melanjutkan sekolah dititipkan ke pondok pesantren.
"Tapi ada juga yang tidak mau di pesantren. Sekolah tidak, belajar tidak. Saya takut masa depannya suram," kata dia.
Menurut dia, banyak anak di yayasannya yang belum memiliki akta kelahiran disebabkan lantaran orang tua dari anak-anak itu melakukan pernikahan secara siri. Ada pula orang tua mereka yang sudah meninggal, sebelum dokumen kependudukan tersebut diurus. Bahkan, terdapat anak yang sama sekali tidak tahu siapa orang tua mereka. Karena itu, ia meminta KPAID Kabupaten Tasikmalaya mau membantu pengurusan dokumen kependudukan anak tersebut.
Tatang mengaku pernah berkomunikasi dengan pemerintah desa dan kecamatan terkait masalah tersebut. Namun, dokumen akta kelahiran tak bisa diterbitkan lantaran tak ada dokumen pernikahan dari orang tua mereka. Padahal, akta kelahiran sangat diperlukan untuk anak melanjutkan pendidikan di sekolah formal.
"Mereka kan sekolah agar pintar dan sukses. Jangan ujung-ujungnya hanya jadi buruh tani," kata dia.
Tatang juga meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tasikmalaya untuk lebih peka terhadap masalah tersebut. Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa yang perlu dibekali dengan pendidikan formal.
"Kalau begini terus, mereka bukan jadi generasi panerus bangsa. Yang saya takutkan ke depan justru jadi sampah masyarakat," kata dia.