Kamis 05 Dec 2019 04:33 WIB

Apokalipitisisme,Teokrasi Amerika, Hingga Perang Agama

Siapa yang salah jika nanti terjadi perang agama?

Lukisan Pelukis Iran tentang gugurnya Husein di Karbala. Keterangan foto tidak tersedia.
Foto: Abdul Hadi WM
Lukisan Pelukis Iran tentang gugurnya Husein di Karbala. Keterangan foto tidak tersedia.

Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM, Budyawan dan Guru Besar Universitas Paramadina, Jakarta.   

       Tidakkah kaulihat pemerintahan demokrasi di Barat

     Yang kelihatan cerah? Namun kalau dijenguk lebih mendalam

    Jiwa mereka sebenarnya lebih kelam dari Jengis Khan

                                 (Parlemen Setan: Muhammad Iqbal)

                                *****

Selama lebih tiga dasawarsa terakhir sejak berkobarnya Perang Arab-Israel 1967, banyak sekali buku diterbitkan di Amerika Serikat berkaitan dengan latar belakang sejarah dan agama dari krisis Timur Tengah yang tidak pernah usai hingga kini. Dua di antaranya yang mengundang perdebatan ramai ialah karangan bersama J. F. Walvoord dan putranya J. E. Walvoord, Armageddon: Oil and Middle East Crisis (Grand Rapids MI: Zondervan, 1974) dan karangan Kevin Philips, American Theocracy: The Peril and Politics of Radical Religion, Oil, and Borrowed Money in the 21st Century(New York: Viking, 2006).

Buku yang pertama, walaupun bukan mengenai eskatologi apokaliptik dalam arti sebenarnya, tetapi titik tolak pembahasannya mengacu pada ramalan Bibel tentang perang besar pada akhir zaman di Megido (Armageddon), yaitu di bumi Palestina yang diduduki Israel sekarang.

Pengarang buku itu mengatakan bahwa kekuatan yang dimiliki bangsa Arab disebabkan kekayaan minyaknya suatu ketika akan membuat kekuatan global beralih dari AS dan Rusia (dulu Uni Sovyet) ke Timur Tengah. Dengan senjata minyaknya itu Dunia Arab akan mampu menekan Israel untuk menanda tangani perjanjian damai yang sifatnya permanen.

Tetapi hal itu hanya mungkin jika di kalangan bangsa Arab muncul pemimpin yang kuat dan kharismatik yang mampu menyatukan bangsa Arab dan solidaritas Islam. Apabila hal itu memang terjadi tentu tidak dikehendaki oleh Amerika dan Rusia. Oleh karena itu kedua negara digjaya itu akan mengerahkan seluruh kekuatan politik, ekonomi, militer, dan budaya untuk mencabik-cabik dunia Arab.

Buku kedua lebih penting, karena berkaitan dengan kebijakan Timur Tengah dari pemerintahan Bush, yang pada masa akhir jabatannya melahirkan Tragedi Gaza. Di Indonesia buku ini sesaat diperdebatkan dalam harian Republika. Namun sayang perdebatan itu tidak menyentuh masalah yang mendasar sebagaimana disarankan oleh judul buku tersebut. Karangan ini mencoba membahas hal mendasar dan substansial dari buku ini.

Buku tersebut dapat dipercaya karena penulisnya pernah menjadi ahli strategi politik Partai Republik selama lebih dua dasawarsa. Diperkuat lagi dengan pengetahuannya yang luas mengenai sejarah agama di Amerika. Ini semua memungkinkan Kevin dapat menjelaskan banyak hal berkaitan dengan pemerintahan Bush. Khususnya pengaruh pandangan kaum fundamentalis Protestan terhadap politik luar negeri AS di Timur Tengah, yang di dalamnya Bush merupakan tokohnya yang terkemuka.

Ada tiga hal saling terkait dibahas oleh Kevin Philips dalam bukunya itu. Pertama, peran AS sebagai pemimpin terdepan ‘imperialisme minyak’ ( petro imperialism) dan akibat-akibatnya terhadap perdamaian dan tatanan dunia beradab. Kini rakyat Amerika sendiri merasa gerah dengan peran negaranya sebagai imperialis minyak. Persoalannya AS harus menempatkan ribuan tentaranya di berbagai penjuru dunia yang dianggap strategis dalam rangka mengamankan suplai minyak. Untuk itu diperlukan biaya yang besar dan sukar diramalkan sampai kapan dapat dipertahankan. Runtuhnya supremasi Inggris setelah Perang Dunia I sebagai negara adidaya di dunia ketika itu, disebabkan oleh terlalu besarnya biaya yang harus dikeluarkan negara itu selaku polisi dunia.

Kedua, Philiips menguraikan panjang lebar kuatnya pengaruh fundamentalis Kristen yang radikal dalam pemerintahan Bush. Motif serbuan AS menduduki Afghanistan dan Iraq, dukungan penuhnya kepada Israel, dan ancamannya terhadap Iran, serta kegalauannya atas kehadiran kelompok perlawanan seperti Hamas di Palestina dan Hizbullah di Libanon, tidak hanya disebabkan keinginan menguasai minyak dunia. Motif lain yang tersembunyi bersifat keagamaan, yaitu keinginan untuk mewujudkan “impian apokaliptik” yang melekat dalam dogma Kristen fundamentalis.

Ketiga, kebijakan neo-liberal dalam ekonomi yang diterapkan sejak masa pemerintahan Reagan telah menyebabkan krisis keuangan. Salah satu di antaranya ialah keleluasaan menggunakan kartu kredit walaupun penggunanya tidak memiliki uang. Contoh lain ialah macetnya kredit perumahan yang menyebabkan bank-bank besar kelabakan dan memicu krisis keuangan global.

Dari tiga hal itu, masalah yang berkaitan dengan ‘impian apokaliptik’ AS menguasai Timur Tengah dan Dunia Islam yang belum banyak dibahas di Indonesia. Terhadap masalah inilah karangan kecil ini akan dipusatkan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement