REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang Islam di Asia Tengah memiliki catatan sejarahnya tersendiri. Salah satu yang menjadi saksinya adalah Madrasah Kukeldash kuno yang terletak di jantung kota tua Tashkent.
Beberapa dekade yang lalu, Tashkent memang memiliki suasana yang berbeda. Daerah tersebut, menjadi sebuah kosmopolitan dan pusat libereral. Hal itu terlihat jelas dari berbagai pot dengan perpaduan gaya etnis Korea, Rusia, Tajik, Turki, Uzbek, dan lainnya yang secara gamblang menawarkan keramahan.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, pada 1990-an, terjadi perang yang membawa pengaruh ekstremisme dan terorisme. Dari kejadian itu, Tashkent seolah-olah menjadi benteng agama bagi kebangkitan Islam.
Madrasah Kulkeldash memang menjadi museum sejarah dan seni di masa Soviet. Akan tetapi, saat ini lokasi itu menjadi pusat keagamaan untuk masyarakat setempat. Islam cukup kental dengan nuansa Arab yang dimuat di setiap reklame. Sebab, di sepanjang jalanan kota, memang ada berbagai toko dan tempat menarik.
Akan tetapi, ada kekhawatiran umum yang dirasakan penduduk. Seorang pemandu yang merupakan etnis Rusia, Nikolai mengatakan, meski Tashkent merupakan kampung halaman bagi keluarganya, ia merasa menjadi orang asing di tempat tersebut.
“Kami orang asing di sini. Kami tidak merasa kami disambut lagi," katanya seperti dilansir di Asia Times, Rabu (4/12).
Ia mengatakan, pada masa Soviet, keluarganya tinggal di Tashkent di mana gereja ortodoks masih banyak, selain restoran dan sekolah. Akan tetapi, saat ini, lokasi tersebut hanya menjadi daerah Muslim bagi orang Uzbek. Ada lebih banyak Muslimah berjilbab di jalanan, lebih banyak tulisan Arab di papan iklan, dan aktivitas jual beli berhenti setiap memasuki waktu shalat.
Hal serupa juga dikatakan oleh Svetlana Lee, seorang etnis Korea yang bekerja di toko suvenir terdekat. Dalam pengakuannya, dulu ia merasa ada kenyamanan berlebih karena lingkungan kota yang nyaman dan rindang. Namun demikian, saat ini dirasa telah berkurang, terlebih karena penampilannya
"Kami memiliki penampilan Asia, tetapi kami bukan Muslim. Penduduk setempat menganggap kita, terutama wanita Korea, sebagai orang Asia Tengah, jadi mereka mengharapkan kita untuk mematuhi tradisi dan gaya hidup Muslim mengenakan penutup kepala, misalnya," ujar dia.
Islam tiba di Asia Tengah pada abad ke-8 pasca-Muslim menaklukkan Asia Tengah kala itu. Lebih lanjut, pada abad ke-10 Islam menjadi mayoritas di Turki dan wilayah lainnya secara mengakar. Akan tetapi, karena berbagai alasan, kekuasaan Islam mengendor.
Namun demikian, pada 1988, di bawah Presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, Moskow mengendurkan kendali atas Islam. Alhasil, Islam segera hidup kembali dan dipercepat setelah Uni Soviet jatuh pada 1991.
Islam kembali mengalami kebangkitannya di Asia Tengah pascapemerintahan Soviet hancur. Di tengah gelombang Islam itu, Asia Tengah menjadi semakin awas terhadap militansi.
Masih di periode yang sama, pada 1990-an, perang gerilya yang menyapu berbagai wilayah melonjak. Namun tidak dengan Tashkent, yang menjadi wilayah bagi benteng agama.
Berbagai wilayah ikut dalam perang tersebut, sebelum istilah damai masih dipertanyakan. Sebut saja pada rentang 1992 hingga 1997, di mana Partai Renaisans Islam Tajik atau IRP, melawan pemerintah Dushanbe dalam Perang Saudara Tajik. Dari jumlah populasi enam juta saat itu, setidaknya 50 ribu orang menjadi korban, selain dari 250 ribu lainnya yang melarikan diri ke Afghanistan dan Uzbekistan.
Bahaya tersebut semakin diperparah pada 1996,di mana Taliban mengambil alih Afghanistan. Namun demikian, saat ini Uzbekistan menjadi contoh terbaik dari apa yang dilakukan kelompok islam di Asia Tengah. Memang, Islam Uzbekistan menjadi versi yang lebih liberal dari pada versi konservatif yang ada di Timur Tengah. Akan tetapi, nyatanya, hampir 90 persen populasi Uzbekistan adalah Muslim yang mayoritasnya Sunni, di mana negara itu juga menjadi pusat budaya dan agama Islam di Asia Tengah.
Lebih jauh, saat ini mungkin daerah Asia Tengah diangap memiliki kebangkitan balik. Banyak orang Asia Tengah yang lebih menyukai gaya hidup sekuler yang diperkenalkan oleh Rusia.
Mayoritas dari mereka menikmati makan di kafe gaya Barat, menari di klub dan melancong ke luar negeri. Namun demikian, banyak dari mereka yang masih melawan gelombang.