REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendukung wacana program flexible working arrangement atau pengaturan kerja yang fleksibel bagi aparatur sipil negara (ASN). Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan, untuk menerapkan kebijakan tersebut, pemerintah harus mengaturnya dalam regulasi secara utuh.
"Yang pertama tentu saja harus ada regulasinya. Harus ada pengaturan yang lain juga supaya bisa fair kan," ujar Handoko saat dihubungi Republika, Rabu (4/12).
Ia mengatakan, pemerintah perlu merumuskan karakter pekerjaan dan layanan tertentu yang dapat menerapkan kebijakan kerja fleksibel. Pemerintah juga harus menyiapkan sistem untuk mendukung penerapan program tersebut agar menjamin pelayanan publik tidak terganggu.
Menurut Handoko, kerja fleksibel bagi ASN bisa diterapkan di Indonesia. Dampak positifnya bisa meningkatkan produktivitas para pegawai.
Manfaat itu, kata dia, sudah dirasakan LIPI yang beberapa tahun terakhir telah menerapkan kerja fleksibel secara umum bagi seluruh pegawai LIPI. Apalagi para peneliti yang kerjanya sebagian besar dilakukan di luar kantor.
"Apalagi di Jakarta, terhadap kemacetan yang sedemikian parah itu, (kerja fleksibel) cukup meningkatkan produktivitas, karena dia tidak perlu mengeluarkan waktu dan membuang energi juga," kata dia.
Handoko mengklaim, sejauh ini penerapan kerja fleksibel di LIPI berdampak baik. Manfaat positif juga dirasakan bagi para pegawai yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan kemudian berpengaruh terhadap kualitas kinerja pegawai itu sendiri.
Regulasi penerapan kerja fleksibel di LIPI juga sudah disusun sedemikian rupa. Ada sistem piket bagi setiap divisi untuk memastikan kesiapan pegawai melakukan pelayanan baik terhadap masyarakat luas maupun internal LIPI secara tepat waktu.
"Harus ada sistem piket pasti, tidak bisa layanan publik tidak bisa berhenti tidak bisa fleksibel," kata dia.
Menurut dia, manfaat positif dari penerapan kerja fleksibel juga dapat terlihat dari hasil atau capai target masing-masing pegawai. Jika pun kinerja pegawai itu buruk maka akan diberikan punishment berdasarkan indikator penilaian atau Key Performance Indicator (KPI) tahunan.
"Kita lihat dari situ, itu tidak boleh turun, karena kalau dia tidak tercapai dia akan dipotong tunjangan kinerjanya. Jadi memang harus ada reward dan punishment, kita tidak bisa juga sekadar fleksibel," ungkap dia.
Ia melanjutkan, pemerintah pun harus menyiapkan pengaturan kebijakan kerja fleksibel bagi ASN tersebut. Jangan sampai muncul ketidakadilan yang dirasakan para pegawai.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) sedang mengkaji program flexible working arrangement atau pengaturan kerja yang fleksibel bagi aparatur sipil negara (ASN). Dengan aturan ini, ASN dimungkinkan bekerja di luar kantor dan mendapatkan libur selain Sabtu dan Ahad.
Kebijakan tersebut merupakan bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Manajemen Kinerja ASN. Dalam penilaian kinerja itu, nantinya ASN akan dikategorikan menjadi 3 peringkat, yaitu peringkat terbaik (exceed expectation) sebesar 20 persen, peringkat menengah sekitar 60-67 persen, dan peringkat terendah (low) sebesar 20 persen.
Dengan kebijakan ini, PNS bisa saja mendapatkan libur pada Jumat. Bukan berarti berkurang jam kerjanya, justru jam kerja pada hari lainnya harus ditambah sehingga total 80 jam kerja selama 10 hari tetap terpenuhi. Selain soal jam kerja yang fleksibel, sedang digodok pula kebijakan mengenai flexible working place atau tempat bekerja yang fleksibel.