REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menjelaskan mengapa memotong masa pidana terhadap Idrus Marham. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menerangkan, korting masa penjara untuk mantan Menteri Sosial (Mensos) 2018 itu, karena ada penggunaan dakwaan tak tepat ajuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi acuan putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor), pun pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT).
Menurut Majelis Kasasi di MA, kata Andi, para hakim meyakini, hukuman terhadap Idrus Marham semestinya memang hanya mengacu pada Pasal 11 UU Tipikor 2001. “Yaitu menggunakan pengaruh kekuasaannya,” terang Andi lewat persannya kepada Republika, Kamis (5/12).
Ia menerangkan, kekuasaan Idrus tersebut, mengingat perannya sebagai Plt Ketua Umum Partai Golkar 2017. Peran Idrus Marham sebagai pemimpin sementara Partai Golkar, memengaruhi proses terjadinya rencana suap dan gratifikasi terkait pelaksanaan proyek PLN pembangunan PLTU Riau-1 saat itu.
Andi menerangkan, merunut fakta persidangan terdakwa lain dalam kasus yang sama, Andi mengatakan, Idrus Marham menjadi Plt Ketum Golkar menggantikan Setya Novanto yang saat itu lengser karena terjerat hukum megakorupsi KTP-Elektronik (KTP-el). Pergantian kepemimpinan di Pohon Beringin itu, membuat Eni Maulani Saragih, anggota Komisi VI DPR RI yang menerima suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk proyek PLTU Riau-1 tersebut.
“Karena pada mulanya, saksi Eni Maulani Saragih melaporkan perkembangan proyek PLTU Riau-1 tidak lagi kepada saksi Setya Novanto. Tetapi melaporkannya, kepada terdakwa (Idrus Marham),” terang Andi.
Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro memberikan keterangan pers di Media Center MA, Jakarta, Senin (8/7).
Laporan kepada Idrus Marham tersebut, menurut Andi, agar Eni Saragih tetap bisa mempertahankan perannya di hadapan Johannes Kotjo. “Saksi Eni Maulani Saragih, menyampaikan kepada terdakwa (Idrus Marham) kalau dirinya akan mendapatkan fee dalam mengawal proyek PLTU Riau-1,” terang Andi.
Penjelasan tersebut, kata Andi, yang membuat MA mengabulkan permohonan kasasi Idrus Marham. Yakni, dengan menganulir putusan putusan dari pengadilan tingkat pertama dan kedua dan menyatakan upaya hukum berakhir inkrah.
“Dalam putusan kasasi MA membatalkan putusan pengadilan tipikor dan pengadilan tinggi tipikor, kemudian menjatuhkan vonis dua tahun kepada terdakwa (Idrus Marham),” terang Andi.
MA, kata Andi, juga hanya menghukum Idrus Marham dengan denda senilai Rp 50 juta atau kurungan selama tiga bulan. Putusan MA terhadap Idrus Marham tersebut, diputus 2 Desember 2019, oleh Ketua Majelis Hakim Suhadi, dan anggota Hakim Abdul Latif, bersama Hakim Krishna Harahap. Putusan MA hanya dua tahun penjara untuk Idrus Marham tersebut, lebih rendah ketimbang putusan PN Tipikor, pun PT Tipikor Jakarta.
PN Tipikor Jakarta, pada April 2019 menghukum Idrus Marham dengan pidana penjara selama tiga tahun lantaran terbukti menerima suap sebesar Rp 2,2 miliar terkait proyek PLTU Riau-1. Hukuman itu lebih ringan dari lima tahun tuntutan Jaksa KPK yang mendakwa Idrus Marham dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 UU Tipikor 2001. JPU KPK membanding putusan PN Tipikor tersebut ke PT Tipikor.
Hasilnya, mengabulkan tuntutan KPK dengan memenjarakan Idrus Marham selama lima tahun. Tetapi, Idrus Marham melawan ke MA dengan mengajukan kasasi yang akhirnya hanya memenjarakannya selama dua tahun.
Terkait putusan kasasi MA tersebut, KPK merasa kecewa. Namun, tak dapat berbuat apa-apa karena kasasi MA, sebagai upaya hukum terakhir dari suatu putusan. Satu-satunya, jalan bagi KPK untuk melawan hanya melalui Pinanjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa yang pengadilannya juga di MA.
“Kami sangat kecewa dengan putusan pengurangan hukuman seperti itu,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, pada Selasa (3/12).
Menurut Febri, putusan MA tersebut membuktikan tidak adanya kesamaan visi antara sesama penegak hukum yang menghendaki memberikan dampak jera kepada para pelaku korupsi yang berhasil dibuktikan di persidangan.
Koordinator Pengacara Idrus Marham, Samsul Huda kepada wartawan mengatakan, pengurangan hukuman dari MA itu, sudah tepat. Bahkan kata dia, seharusnya MA membebaskan kliennya.
“Seharusnya klien kami (Idrus Marham) diputus bebas. Karena Idrus Marham, tidak tahu menahu tentang proyek PLTU Riau-1,” kata dia.
Samsul mengatakan, fakta persidangan dari tingkat pertama mengungkapkan kesaksian, bahwa nama kliennya tersebut hanya dicatut oleh Eni Maulani Saragih, anggota Komisi VII DPR RI, rekan Idrus Marham sesama Partai Golkar yang menerima suap untuk meloloskan proyek PLTU Riau-1.
Menteri Jadi Tersangka Korupsi