REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendekiawan Muslim Prof Didin Hafidhuddin menilai, majelis taklim merupakan aset umat dan aset bangsa.
"Tumbuh dan berkembang atas kesadaran umat ingin menjaga semangat keberagaman masyarakat. Seharusnya tak perlu direpotkan dengan keharusan mendaftarkan diri ke pemerintah," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (5/12).
Menurut Hafidhuddin, bila ingin tertib dan teratur, maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama yang melakukan pendataan.
Terkait modul untuk majelis taklim, Didin berpendapat pada prinsipnya pemberian modul itu baik tapi harus juga diperhatikan kemampuan dari para ustaz yang menurutnya sangat beragam.
"Yang lebih bijak berikan pokok-pokoknya saja. Misalnya tentang kesatuan dan persatuan umat. Penguatan akhlak mulia dan lain-lain," imbuhnya.
Kementerian Agama menerbitkan PMA Majelis Taklim pada 13 November lalu. Plt Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama (Kemenag), Syafrizal menyampaikan hal yang melatarbelakangi terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) 29/2019 tentang Majelis Taklim.
Dia menuturkan Kemenag ingin memastikan masyarakat mendapatkan pendidikan agama Islam yang benar di majelis taklim. "Kedua, Kementerian (Agama) ingin memastikan orang-orang yang mengajar Alquran, ilmu Hadis, ustaz dan ustazah itu memang orang yang mumpuni di bidangnya," ujarnya.
Ketiga, lanjut Syafrizal, dengan adanya majelis taklim yang terdaftar di Kementerian Agama, pemerintah daerah (pemda) dan Kemenag di daerah dapat mengetahui jumlah majelis taklim di wilayahnya. "Dan memudahkan administrasi kalau ada bantuan sosial, bantuan pemerintah dari negara, baik dari pemda maupun Kemenag, itu saja sebetulnya" ujarnya.
Soal keharusan terdaftar di Kemenag kabupaten/kota, Syafrizal menjelaskan, hal ini bermula ketika Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kemenag berdiskusi dalam proses penyusunan PMA 29/2019. Dalam diskusi tersebut, dibahas soal apakah pendaftaran majelis taklim ini bersifat boleh, harus, atau wajib.